Imajinasi Gaya dan Identitas Tubuh Anak Muda Kota Ambon
Hatib Abdul
Kadir*
Pendahuluan
Kota Ambon yang sempit dan padat, menyebabkan pola
interaksi anak muda menjadi lebih intensif. Pasca konflik, ruang
publik anak muda, secara garis besar hanya terpusat pada dua tempat, yakni
Ambon Plaza dan Lapangan Merdeka. Dari kesempitan ini tingkat persebaran gosip,
isu dan perkembangan anak muda secara informatif sangat cepat menyebar. Gaya
atau tingkah pola anak muda Ambon yang penuh sensasi, luar biasa atau bahkan
menjengkelkan dengan cepatnya terkabarkan ke segala penjuru. Anak muda akan
segera tahu, jika si A sebagai pelaku sesuatu, maka pendengar kabar atau saksi
mata akan mengetahui, si A anak muda dari wilayah mana, siapa saudara yang
dikenalnya, dan dimana ia sering duduk-duduk2.
Pakaian, selera makanan dan minuman, pilihan musik
menggambarkan pengalaman sosio kultural. Demikian
pula, pengalaman anak muda Ambon dalam menerjemahkan pilihan gaya hidup dan
selera tubuh mengacu kepada benang historis dan nilai kultural. Kemampuan
menjalankan gaya secara bergengsi pada sebagian anak muda Ambon, dianggap
bagian dari transfer gaya kaum kolonial yang diadaptasi kembali dan terus
diartikulasikan hingga ketika pasca konlik tahun 2002. Pencuatan gaya
dikalangan anak muda, disinyalir karena dua hal, yakni anak muda yang memasuki
masa usia transisi dan perlu menyampaikan ekspresi tubuh dengan mencolok, serta
bentuk tingginya kesensitifan terhadap rasa keterasingan diri ketika berada di
tengah modernitas sebuah kota (Ewen, 47-54: 1988).
Konstruksi
Anak Muda dalam Negara
Anak
muda digambarkan sebagai orang-orang paling bergelora, radikal dan heroik
terhadap wacana anti kolonial. Munculnya
Jong Java (Pemuda Jawa), Indonesia Muda (Pemuda Indonesia), Jong
Islamietenbond (Liga Pemuda Islam), Jong Minahasa (Pemuda Minahasa),
dan lainnya mengindikasikan pemuda identik dengan orientasi yang peduli dengan
konstruksi Negara Bangsa. Setiap individu pemuda diharuskan mempunyai loyalitas
kepatuhan terhadap negara sekaligus pelaku utama perubahan dan mempunyai
berbagai potensi yang masih tertanam (Ryter, 47, 58: 1998). Salah satu karakter
pemuda Indonesia seperti yang digambarkan Anderson tidak merujuk pada jenjang
usia tertentu, dan memang pemuda di Indonesia dalam rentangan rejim tidak
terbatas pada waktu tertentu (timeless) (Anderson 3: 1999)
Antropolog
James T Siegel, melihat bahwa karakterisasi pemuda yang dianggap sangat politik
pada masa Orde Baru, dibengkokkan ke istilah “remaja”. Sebuah
istilah yang diidentikkan dengan anak-anak muda apolitis, dekat dengan perilaku
konsumtif dan hasrat-hasrat ketubuhan yang bertingkah hedonistik3. Kata remaja juga mengacu kepada
anak muda kelas menengah dengan pilihan-pilihan konsumsi yang telah selesai
mengurusi permasalahan tubuh secara primer, seperti masalah gizi, kesehatan
hingga pendidikan. Konsep remaja ataupun anak muda mempunyai satu kesamaan,
yakni sangat peduli dengan selera (taste) dan tingkat konsumtifitas yang
tinggi (Ryter, 58: 1998; Siegel, 203-4: 1986; Shiraishi, 1997: 149).
Pada
masa Orde Baru beberapa konsep sengaja dikaburkan4. Sebagai misal konsep remaja yang berkelindan dengan
makna anak muda. Meski sebuah organisasi negara bernama BKKBN (Badan Koordinasi
Keluarga Berencana) mendefinisikan remaja sebagai mereka yang baru mengalami
transisi fisik dari anak-anak menuju dewasa, yakni mereka yang berusia antara
10 hingga 21 tahun. Namun terdapat
kesepakatan struktural dan kultural yang mengakui bahwa anak muda dewasa adalah
mereka yang telah menginjak usia 17 tahun. Karena itu mereka berhak mendapatkan
surat ijin mengemudi, mendapatkan kartu tanda penduduk, menghisap rokok,
minum-minuman keras, melihat sinema dewasa di bioskop, hingga mencoblos dikala
pemilihan umum yang diadakan dalam lima tahun sekali. Kartu-kartu yang diproduksi oleh negara menentukan
identitas tubuh seseorang untuk menjadi dewasa atau tidak.
Mengenai
konsep tentang anak muda yang dihadirkan oleh negara, berikut bagan yang saya
buat berdasarkan hasil pembacaan terhadap beberapa literatur mengenai anak muda
di Indonesia:
Anak Muda dalam Konstruksi Negara
|
||
Anak Muda yang
di-Apolitisasikan
|
Anak Muda Musuh
Negara
|
Anak Muda
Bentukan Negara
|
Pemuda
|
Gali
|
Pemuda Pancasila
|
Siswa/i
|
Geng
|
Pemuda Panca Marga
|
Pelajar
|
Preman
|
Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia
|
Mahasiswa/i
|
Pemuda Berandalan
|
Angkatan Muda Golkar
|
Remaja
|
Anak Jalanan
|
|
Bagan di
kolom pertama adalah anak muda yang berhasil ditaklukkan oleh negara. Sepanjang
rejim Orde Baru, tampak pada NKK/BKK yang disahkan oleh Mendagri Daud Yusuf
(1982-1983) menjadikan mahasiswa seperti macan kehilangan taring. Demikian pula
istilah remaja seperti yang telah saya bahas di atas. Pada kolom kedua di tahun
yang sama ribuan pemuda jalanan diberangus melalui Petrus (penembakan
misterius sepanjang 1983-1985) dan juga dicap sebagai musuh negara karena
dianggap mengancam stabilitas pembangunan. Semua anak muda harus dikerahkan
untuk selalu mendukung pembangunan negara. Sedangkan anak muda yang tak dapat
dipetakan oleh negara, terkonstruk dengan istilah anak jalanan, Gali dan
geng jalanan.
Bagan di
kolom ketiga adalah sekelompok anak muda yang mau dan mampu diklasifikasikan
sebagai perangkat negara yang dimasukkan seperti ke dalam kelompok PP
(Pemuda Pancasila). Ini adalah sebuah kelompok legal resmi yang mendukung satu
partai dominan pada waktu itu yakni Golkar (Golongan Karya) (Ryter, 63:
1998). Negara menyebut anak muda ini sebagai ”preman sadar”, karena terdiri
dari preman yang dibina negara5, dipupuk rasa nasionalismenya, namun pada saat yang sama
menjadi becking perjudian, perlontean dan berbagai hiburan malam. Jika
salah satu anggotanya kedapatan berbuat diluar hukum, akan disebut sebagai
”oknum”, sehingga tetap selamatlah organisasi di bawah negara tersebut (Ryter,
63-8: 1998). Terdapat pula organisasi yang disebut dengan Angkatan Muda Golkar
(AMG) yang kategorisasi usia anggotanya diperlebar hingga mereka yang menginjak
usia 40 tahun juga Pemuda Pancamarga dan Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia
(AMPI). Pragmatisme terhadap konsep anak muda pada kolom ketiga dikenakan demi
berbagai suksesi yang diinginkan oleh negara. Konsep mengenai anak muda
Indonesia pada kolom ketiga ini berkesan timeless, tak mempunyai batasan
pada tingkatan umur tertentu. Karena konstruksi politik Orde Baru yang
memasukkan institusi-institusi dengan kata ”muda” seperti diatas.
Hingga di usai pemerintahan Orde
Baru, politisasi anak muda hanya berlaku sebentar dalam euphoria
reformasi, karena kesadaran anak muda urban selanjutnya kembali mengarah kepada
serangkaian ekspresi yang sifatnya menghindari dari kegiatan dan partisipasi
politik praktis. Ada sebuah re-generasi yang tidak diteruskan dalam bidang
kepedulian terhadap dunia politik dan ideologi khususnya. (Tumenggung dan
Nugroho, 27:8, tanpa tahun terbit).
Modernitas
Kolonial dalam Tubuh Anak Muda Ambon
Harus diakui bahwa agama Kristen
menjadi salah satu faktor penentu yang paling penting dalam membentuk
perkembangan gaya6 dan identitas modern pada anak muda
di Ambon, karena agama ini identik dengan pihak koloni. Mendapatkan posisi
penuh previlese membuat urban Ambon menyadari bahwa perbedaan antara “mereka”
(anak muda Islam; anak muda Buton, Makassar) dan ‘kita” (anak muda Islam) telah
mencolok semenjak masa kolonial. Identitas gaya tubuh telah terbagi ke dalam
beberapa kluster, antara Islam dan Kristen; kluster etnis seperti China, Ambon
itu sendiri, Jawa, serta orang-orang dari ujung Sulawesi seperti Buton, Bugis
dan Makasar. Tubuh dan segala gayanya merupakan konstruksi dari dunia politik
kolonial.
Pada pertengahan abad XVII, awal dari
kepercayaan baru terhadap agama Kristen bukan didapat dari masyarakat Ambon
semenjak lahir. Menjadi Kristen merupakan transformasi tubuh di usia muda, yang
terjadi melalui tatanan pemerintahan koloni. Kekuasaan koloni membahasakan
teologi dengan menciptakan ketergantungan personal melalui dominasi pekerjaan
birokrasi, pakaian pola makan hingga pola mandi dan mencuci. Kepercayaan
dikreasikan melalui konversi doktrin baru, seperti mengubah makna tubuh
telanjang seperti yang biasa oleh kepercayaan sebelumnya, menjadi tidak boleh.
Kekuasaan juga mengkonstruksi lanskap kota yang yang menegaskan hadirnya
penguasa Kristen. Terjadi pula konversi pemaknaan terhadap Tuhan. Karena itu
permasalahan memilih agama tidak terlepas dari unsur kepentingan politik. Jika
merujuk pada asumsi bahwa agama dan keimanan adalah sistem asali yang dibentuk
semenjak lahir, maka pengorbanan orang Ambon untuk mengubah kepercayaan dari Shamanisme
ke bentuk agama Abrahamik merupakan suatu transfromasi yang patut
dipertanyakan karena memeluk agama lebih didasarkan pada posisi tawar politik
dan gengsi tubuh (Bartels, 4-5: 1976; 3-4: 1990). Disinilah saya memperkirakan
bahwa modernitas. koloni memunculkan kesetaraan urgensi antara keimanan
terhadap suatu agama dan gengsi. Demi gengsi dapat memasuki tataran birokrasi
modern, warga Ambon mentransformasikan keimanan sebagai salah satu strateginya.
Seruan gaya tubuh dengan datangnya
abad modern tidak dapat dipisahkan dari kondisi subjektif manusia. Ketakutan
terhadap kecemasan, keluhan, terasing, ratapan terhadap kesendirian,
terombang-ambing, terisolasi, rasa putus asa, tak terlihat dan tak dianggap,
distrategikan dengan semangat demi menumbuhkan gaya sebagai “keangkuhan” dan
kehormatan dalam identitas modern. Anak-anak muda Ambon tak hendak melepas
identitas keetnisan di manapun kaki diinjak (Bartels, 1990: 5-6). Dengan
bangganya mereka menyebut bahwa Maluku adalah propinsi kedua belas dari
Belanda, kemanapun mereka berdiaspora. Kebanggaan tersebut muncul karena
Belanda dianggap sebagai koloni yang berhasil memodernkan dan memperadabkan
anak muda Ambon.
Salah satu modernitas yang dihasilkan
adalah sistem sistem pendidikan, yang dikenal dengan istilah “sekolah madras”
sekolah diasuh oleh gereja, terutama yang menunjang untuk pendidikan agama.
Pelajaran yang disampaikan adalah berhitung, membaca dan tentu saja menyanyi
(lagu-lagu rohani). (Leirizza, 2004: 76). Saya mensinyalir bahwa munculnya
sekolah di jaman koloni, bertujuan untuk mengubah tiga hal, kecerdasan
intelektual, keimanan dan gengsi. Perluasan reformasi pendidikan tidak semata
mengubah ketersediaan manusia untuk menjadi pegawai negeri dan tentara, namun
juga menciptakan relasi di antara orang-orang Ambon itu sendiri dengan pihak
Koloni dan relasi horizontal dengan penduduk pribumi sendiri. Anak-anak burger
menolak menjadi pekerja kasar, dan karena ingin menjadi pekerja kantoran mulai
memasuki sekolah umum. Di berlakukannya sistem politik etik, mengubah sistem
pendidikan yang berbasis keagamaan dan berorientasi pada keuntungan koloni, ke
arah pendidikan yang humanis dan progresif. Maka berdirilah ABS (Ambon
Burger School) pada tahun 1856. Bahasa Belanda digunakan sebagai
pengantarnya. Sekolah tidak dipungut biaya, sehingga siapapun dapat menuntut
ilmu di dalamnya. Dari sinilah kemudian anak muda kota Ambon benar-benar
berperadaban dan semakin tercipta jarak dengan masyarakat di sekitarnya yang
bukan orang kota dan bukan orang terdidik.
Di sisi lain anak muda Ambon Islam
juga banyak yang mengapropriasi budaya kolonial, hal ini tampak pada banyaknya
mereka yang direkrut menjadi tentara KNIL. Demikian pula ketika ide mengenai
nasionalisme menyebar hingga ke Ambon, anak-anak muda terpelajar Islam juga
menjadi penggerak utama dalam menentang sistem kolonialisme (Chauvel, 1990:
198). Namun demikian, tetap bersatunya orang Kristen dan Islam modern ke dalam
identitas “Orang Ambon” tak lain karena kepercayaan terhadap satunya tradisi
kepercayaan Nunusaku dan tunggalnya adat serta nenek moyang mereka7.
Pasca tahun 1930, pendirian sekolah
tak lepas dari ide-ide nasionalisme seperti yang diusung anak-anak muda di
Syarekat Ambon. Salah satu idenya adalah memunculkan pendidikan untuk mencegah
anak muda melakukan migrasi ke kotakota di Jawa. Sekolah diharapkan mampu
menjadi prasyarat mencerdaskan anak muda di kota Ambon sendiri. Kaum nasionalis
juga menganggap bahwa belajar Bahasa Belanda adalah bentuk alienasi, karena itu
perlu pendidikan dengan bahasa Ambon sendiri, yang didalamnya juga belajar
tentang kultur Ambon (Chauvel, 1990: 152-3). Ide mengenai “nasionalisme
ke-Ambonan” mulai digulirkan melalui pendidikan. Sekolah menempati posisi
pengalaman penting dalam upaya “pembaratan”. Ajaran dan lingkungan pendidikan
dianggap sebagai momen terjadinya transfer kekuasaan dari pemerintah Belanda.
Bartels menyebutnya sebagai “White Power”. Sebagaimana ketika inspektur
pendidikan J.A. Van Chijs, yang mengunjungi Ambon pada tahun 1869 melaporkan:
Among
the pupils the knowledge of our language is much more developed than among for
example the Javanese or Malays. In many respects our manners and customs have
become theirs. While in Java, the native child in general would rather
associate have with native than with the European and prefers to speak Malay
than Dutch, with the Ambonese its just the reverse, as much as possible the
ambonese want to be Dutchmen and it is their good fortune than in Ambon a
certain intermingling between European and native axists (Historisch
overzicht 1930-31; 1: 54-5, via Chauvel 1990: 31).
Van Chijs mengobservasi sistem gaya
bersekolah pada sekelompok kecil anak muda Kristen yang terdidik dalam kota. Di
dalam komunitas sekolah, kesempatan pendidikan lebih diperluas dibanding
kesempatan yang didapat elit agama lokal dan elit adat. Beberapa penyebab
“deman sekolah” tak lepas dari adanya malaise pada tahun 1930. Tak sedikit
orang-orang Ambon keluar dari wilayah Maluku untuk menjadi tentara. Jaman
Malaise menyebabkan anjloknya harga cengkeh di pasaran dunia dan merosotnya
lowongan untuk bekerja di kantor-kantor pemerintahan. Sekitar 61% dari anak muda
Kristen Ambon yang terdidik mulai bekerja di luar Maluku, seperti di birokrasi
kolonial, guru, misionaris dan tentara. Anak-anak mereka mendapat standar
posisi yang lebih tinggi, kemakmuran materi, fasilitas yang lebih lengkap dan
mobilitas sosial yang lebih luas, dibanding mereka yang tinggal di dalam kota
Ambon. Hal ini menunjukkan bahwa, “nasionalisme ke-Ambonan” lebih mengacu
kepada produk sistem pendidikan Belanda yang didukung sepenuhnya dalam
komunitas Kristen urban. Demikian pula ”nasionalisme ke-Ambonan” ini juga
melanda di kalangan anak muda urban Islam (Chauvel, 1990, 205-8).
Mode pakaian anak muda keturunan Buton yang
dianggap tidak memenuhi syarat bergaya anak muda Ambon
Konstruksi
Imaji Anak Muda Ambon Paska
Kolonial
Paska kolonial mengubah struktur
bayangan tentang kiblat gaya anak muda. Dekolonisasi besar-besara yang
dilakukan Negara Indonesia hingga tahun 1950 menjadikan anak muda Ambon melakukan
diaspora ke kota-kota yang mulai pesat membangun, yakni kota-kota di Jawa.
Imaji “pergi lihat“ atau tinggal di
kota-kota besar di Jawa mengacu kepada kesuksesan ekonomi atau sekedar
berbelanja, belajar bahkan bekerja. Karena sepulang dari sana ada narasi yang
diceritakan di sesama anak muda Ambon. Migrasi anak muda Ambon yang dilakukan
pasca kolonial, seperti tertera dalam tulisan M Fauzi, menceritakan kembali
pengalaman Maun Sarifin, yang pernah bekerja sebagai petugas kebersihan di
stasiun Jatinegara:
Yang
namanya calo dari dulu ada di bioskop. Tapi kita bukan ngituin suku ya. Yang
banyakan tuh anak-anak yang dari Ambon. Dulu, waktu itu anak-anak itu kan misih
apa sih anak emas gitu ya ama Belanda kan. Jadi seolah-olah dia tuh paling
tinggi di situ. Jadi dikuasai oleh orang-orang itu, anak-anak itu. (Sebagaimana
diungkapkan pelaku sejarah Sarifin, dalam Fauzi, 2004: 21).
Bahkan penduduk di Batavia pun punya
bayangan terhadap gaya anak muda Ambon. Diaspora yang dilakukan di kota-kota
besar di Jawa mengkonstruksi imaji tersendiri bagi penduduk di Jawa. Identitas
anak muda yang hanya lahir di kota Ambon atau orang tua mereka berasal dari
Ambon, disebut sebagai Ambon Card. Ambon Card
ini
menempati posisi gengsi tertinggi dalam imaji anak muda di Kota Ambon. Karena
generasi Ambon Card dianggap
mempunyai
nilai lebih untuk mengetahui tentang dunia cosmopolitan kota-kota besar di luar
kota Ambon, dan dalam hidupnya, mereka kemudian menjadi sukses secara ekonomi8
Sedangkan di dalam kota sendiri, anak
muda Ambon membatasi dirinya dengan beberapa suku bangsa yang dianggapnya tidak
mempunyai nilai gengsi dan gaya. Anak muda kota Ambon mempunyai latar belakang
kedekatan sejarah dengan birokrasi kolonial. Kedekatan ini dianggap sebagai
nilai lebih dibanding suku bangsa lainnya. Suku bangsa yang tidak mempunyai
pengalaman pertemuan dengan koloni adalah Buton. Anak muda Buton nyaris tidak
mempunyai tempat khusus di mata Belanda dan birokrasi modern.
Selama melakukan migrasi ke kota
Ambon, anak muda Buton hidup dari membuat makanan, menjadi tukang becak dan di
beberapa jasa sektor informal lainnya. Dibanding anak-anak muda Ambon, mereka
jauh lebih tidak terdidik. Sehingga dalam penentuan dan kebijakan politik kota,
anak muda Buton nyaris tak masuk dalam perhitungan signifikan. Dimata anak muda
Ambon Kristen maupun Islam, anak muda Buton dianggap jauh berada di bawah dan
inferior (backward people), namun inferioritas ini tetap tidak menutup
kemungkinan anak muda muslim Ambon untuk menikah dengan orang-orang Buton. Anak
muda Islam Ambon menganggap bahwa perempuan Buton adalah pekerja keras, hemat
dan mempunyai jiwa pengusaha. Hal terpenting bahwa mereka tak gengsi untuk
memilih berbagai pekerjaan apapun yang dapat dilakoninya. Rendahnya tingkat
pendidikan dan sempitnya lapangan kerja membuat anak-anak muda Buton sering
dianggap menjadi pelaku kriminal di kota. Mereka berangasan juga di lingkungan
ketetanggaan. Rusuh-rusuh kecil pada malam hari menjadi biasa di
kampung-kampung kumuh yang ditempati rata-rata migran Buton, seperti di wilayah
Silale, Soabali dan Abdulali’e. Di kota Ambon, orang-orang Buton ini tidak
diterima sepenuh hati sebagai orang Ambon kota. Mereka mengalami bentuk
ketidakjelasan identitas yang terombang-ambing. Persepsi asal-usul mereka
ditolak dari dua arah, di Ambon dan Buton sekaligus. Salah satu sebab
termasuknya orang Buton ke dalam kategori polutif, sebagaimana
dilaporkan oleh Palmer: …
migrants
often recall how Ambonese people swear at friends when they meet them, spend
what they have immediately, and live to be fashionable (bergaya), in
contrast to the migrants being polite, saving their money, and not being as
interested in looking trendy. When the discussion turns to life in Buton, the
returnees often mention how people here are stingy with money, not helping each
other like how it is done in Ambon (Palmer, 2004: 92).
“Kesederhanaan” bergaya anak muda
Buton justru dianggap sebagai bagian dari kepelitan mereka untuk tak
mengalokasikan uang dalam memperhatikan lebih terhadap tubuh dan gaya dandanan.
Dalam pandangan anak muda Ambon, gaya berpakaian trendi yang merepresentasi
kesolidaritasan antar teman tidak diterapkan dalam kultur lokalitas anak muda
Buton. Gaya berpakaian kemudian menciptakan batas antara “kita” dan ”mereka”
dalam struktur kekuasaan anak muda Ambon. Di sisi lain gaya dandan tubuh
menciptakan seperangkat kecemburuan sosial diantara anak-anak muda Buton yang
melihat itu hanya rekaan “kesombongan” yang dikonstruksi anak-anak muda .
Konstruksi
Imaji Anak Muda Ambon Paska
Konflik Agama (1999-2002)
Konflik selama lebih dari tiga tahun
di Ambon telah menyebabkan tajamnya disparitas identitas anak muda hingga saat
ini. Identitas tidak lagi terbelah antara siapa anak muda urban ambon dengan
siapa yang bukan, melainkan antara anak muda Ambon yang beragama Kristen dengan
anak muda Ambon yang beragama Islam. Anak-anak muda migran yang selama ini
inferior, seperti anak muda Buton, Jawa dan Makasar berafiliasi ke anak muda
Islam Ambon.
Meski telah damai, kota Ambon masih
menyisakan batas-batas kultural yang semakin menguat perbedaannya antara
Kristen dan Islam. Pada bentuk pilihan musik misalnya. Anak-anak muda Islam
lebih menyukai Pasha dan Band
Ungunya, Islam, dikarenakan dua hal. Pertama, band ini menjadi salah satu
pengiklan utama pakaian distro bernama Black Id. Sebuah
perusahaan pakaian (clothing company) independen yang bermarkas di
Bandung. Kaos dari Black Id ini sering dipakai oleh Pasha. Pasca
konflik, aspirasi terhadap pakaian independen (baca: Indie) semacam Black Id
ini justeru lebih banyak menyebar di anak muda komunitas Islam, mengingat
barang yang masuk melalui pelabuhan dagang diakses terlebih dahulu oleh
pedagang di pesisir yang notabene Islam. Kedua, Band Ungu mengkonstruksi
dirinya sebagai band Muslim ketika pada bulan puasa/ramadhan 2006 mengeluarkan
sebuah album rohani Islam9.
Sedangkan pada ruang kota dapat
dilihat pada satu-satunya mall di Ambon, yakni Ambon Plasa, menjadi
saksi transformasi pindahnya kelas menengah keturunan Cina yang menghilang
paska konflik dan tergantikan dengan gaya anak muda Islam yang sangat
mendominasi. Tatkala saya memasuki
lantai dasar Ambon Plasa, para pedagang di stan-stan tak
berhentinya mengajukan pertanyaan “cari apa abang?”10. Begitu memasuki plasa, nuansa
keislaman langsung dapat dirasakan. Dua pintu utama yang berada di dalam mall
ini menjual perangkat busana muslim dan kopyah. Pada busana muslim di depan etalase didominasi oleh warna
merah muda dan putih. Terdapat sebuah patung kepala
perempuan berwajah putih beralis tebal yang diberi kerudung. Sedangkan
penjualan tasbih, kopyah dan sajadah berada pada mulut pintu utama di bagian
timur. Beberapa penjual berjenggot lebat dan mengenakan celana hingga di atas
mata kaki. Sesekali mereka bersalaman tatkala menemui beberapa rekan yang
ternyata juga tengah berbelanja11.
Karena terletak di pesisir yang
dikuasai oleh komunitas Islam, Ambon Plasa otomatis menjadi milik kekuasaan
anak muda Islam. Tak sedikit anak muda Kristen yang merasa was-was untuk datang
ke tempat ini.
Pasca kerusuhan (1999-2003), terjadi hilangnya
dominasi gaya klas menengah Cina Ambon, dan kini didominasi oleh gaya anak muda
Islam
Pada tingkatan imajinasi, disparitas
konstruksi ruang perkotaan pasca konflik ditindaklanjuti dengan
perbedaan-perbedaan superficial seperti makna kecantikan. Di kalangan
anak muda Kristen, imaji ketampanan, kecantikan dan kegagahan lebih mengacu
kepada anak muda keturunan Ambon-Belanda. Sedangkan pada anak muda Ambon Islam,
kecantikan dan kegagahan lebih mengacu kepada anak muda keturunan Ambon-Arab.
Dua model keturunan ini terdapat di kota Ambon, dan dianggap sebagai manusia
yagn berfisik ideal, pada masing-masing komunitas Kristen maupun Islam.
Kesamaan konstruksi tubuh ideal di
antara komunitas anak muda Kristen dan Islam adalah, sama-sama berhidung tinggi
alias mancung, baik dari keturunan Ambon-Arab dan Ambon-Belanda. Inilah mengapa
kemudian anak muda Ambon tak begitu mengidealkan kecantikan ala perempuan Jawa
ataupun Sunda yang secara fisik dianggap berkulit pucat, berhidung pesek dan
mempunyai karakter yang terlalu lembek. Prasyarat fisik sangat penting,
mengingat kebagusan tubuh pada pasangan kekasih berperan penting untuk
menaikkan gengsi laki-laki yang berada di jalanan kota. Tujuan dari keinginan
untuk mendapatkan perempuan, oleh anak muda Ambon karena nantinya akan di
pamerkan ke wilayah publik. Ia dijadikan kebanggaan di depan teman-teman,
hingga kemudian akan menciptakan perbincangan yang mengandung nilai salut di
kota yang berukuran kecil ini. Lebih dari itu, idealitas fisik anak muda pasca
konflik menunjukkan pasca konflik di Ambon, perbedaan masih tetap terpelihara,
dan pengusung penting dari perbedaan ini adalah anak muda.
Dua anak muda Belanda berketurunan Ambon. Syarat
dari kegagahan dan ketampanan ideal, yang diinginkan perempuan Ambon.
“Ila Fadila…Nona manis arab ambon..e..”
Adalah Imaji kecantikan yang direkonstruksi pada komunitas urban Islam. Ini
adalah sebuah judul lagu yang dibawakan Oleh Doddy Latuharhari, vokalis Nanaku,
dengan Judul “Lampu Lima”12.
Penutup
Konstruksi
gaya yang dibangun pada masa kolonial adalah anak muda dan kedekatannya dengan
Belanda. Kedua, pasca kolonial hubungan perbedaan lebih ditekankan pada
interaksi antar etnis dibanding agama. Dalam artian anak muda Ambon (baik
Kristen maupun Islam) lebih menganggap bahwa anak muda migran Buton, Jawa dan
Makasar lebih inferior dibanding mereka. Sedangkan konstruksi identitas ketiga
adalah, terjadinya disparitas ruang dan imajinasi identitas antar agama yang
baru saja berkonflik, yakni Islam-Kristen.
Nasionalitas
yang dibangun oleh anak muda Ambon selama masa Orde Baru, adalah dengan
membedakan konsep antara “negeri” dengan “negara“. Dalam mengkonstruksi negara,
anak muda Ambon secara ambigu menyatakan iri sekaligus terkagum terhadap
kemajuan yang terjadi di pusat pemerintahan negara, yakni Jawa. Berbeda halnya
dengan “negeri“, mengacu kepada tanah Maluku dan kota Ambon khususnya yang
bermuatan emosional, penuh dengan tangis kerinduan yang tidak berdasarkan
ketegangan Kristen-Islam13.
Gaya dan identitas tubuh dikosntruksi
berdasarkan replikasi dari kekuasaan kaum kulit putih, dijalankan masyarakat
pribumi dengan melakukan inkorporasi ke dalam berbagai variasi kehidupannya.
Gaya tubuh menjadi strategi unifikasi masyarakat pribumi terhadap masyarakat
koloni. Dengan demikian, saya berkesimpulan bahwa gaya tubuh bukan hanya milik
koloni Belanda, melainkan juga dinarasikan kembali oleh pemiliknya, yakni
masyarakat pribumi Ambon yang mengolahnya kembali pada masa paska kolonial.
Bahkan ditransformasikan kembali pada periode pasca kerusuhan 1999-2002.
Transformasi kemodernan yang
memunculkan kesadaran akan gaya tubuh dikonstruksi melalui empat interaksi,
yakni yakni pengalaman militer, pendidikan, pakaian dan agama. Pada tahun 1895,
di kalangan anak muda keinginan untuk menjadi tentara dan pegawai negeri
semakin marak, karena menurunnya harga cengkeh di pasaran internasional.
Ditambah dengan monopoli harga yang dilakukan koloni Belanda. Abad ke-19
merupakan transformasi besar-besaran di mana orang Ambon mulai mereorientasi
atribut apa yang hendak dijadikan sebagai gaya tubuhnya. Ambisi yang dilakukan
tidak hanya memeluk agama Kristen, namun juga mencari sekolah alternatif yang
lebih prestisius, demi mendapat kedudukan sebagai pegawai pemerintahan sipil
atau menjadi tentara di tangsi-tangsi. Munculnya gengsi dan gaya orang Ambon,
karena posisi politik, pendidikan, ekonomi dan kedudukan militer yang cukup
istimewa. Perasaan superioritas terisi di antara orang Ambon yang menjadi
tentara KNIL.
Pada masa paska kolonial, konstruksi
imaji terhadap kota di luar Ambon lebih ditentukan oleh dua hal:
Pertama,
pola perpindahan anak muda Ambon justeru bukan dihadirkan dari ruang-ruang
televisi, melainkan melalui tingkat narasi yang dilakukan dengan cara
pengkomparasian ruang kota. Untuk menyamakan dengan ibukota, sebuah ruang
publik di Jakarta selalu dibandingkan dengan ruang publik di Ambon yang
berkali-kali lipat ukurannya, sehingga anak muda mempunyai rasa ingin tahu dan
segera ingin membuktikannya. Begitu anak muda berada di luar dari kota Ambon,
koreksi dan repetisi tubuh bukan berarti akan gugur. Gaya dan identitas tubuh
justru tetap dipertahankan karena inginnya menunjukkan identitas ke Ambonan.
Mengetahui anak muda Ambon di kota-kota di Jawa bahkan di Belanda misalnya,
cukup memerlukan radar yang sangat mudah. Bukan hanya dari air muka dan rambut,
namun juga dalam bentuk gaya jalan dan penampilan14.
Kedua, gaya sebagai kebudayaan generik.
Gengsi dan gaya sebagai kebudayaan generatif membuat anak-anak pada usia
sebelum remaja, dikonstruksi seperti anak muda. Anak muda Ambon mencoba
mempertahankan masa kebebasan selama mungkin. Cara yang dilakukan tidak harus
dengan menunda pernikahan, melainkan meski menikah namun tetap mempunyai
kebebasan seperti ketika sebelum menikah. Untuk mempresentasikan tubuh di ruang
publik, anak muda urban Ambon terus dipantau secara reguler dan diatur agar
selalu tetap muda. Strategi mempertahankan gaya muda dilakukan seperti
meluruskan rambut, mengenakan topi dan bertindak dijalanan secara maskulin.
Agar tampak muda, maka dilakukan pembalikan terhadap konsep sejarah nasib tubuh
yang dipandang selalu bermuatan linear. Dari kecil sampai besar, dari muda
sampai tua dan dari lahir sampai mati, termanipulasi ke dalam bentuk tubuh yang
dikondisikan agar selalu dalam keadaan muda. Dukungan yang begitu kuat dari
berbagai elemen masyarakat, membuat gaya pada anak muda Ambon tidak mengandung
resistensi yang berarti, melainkan hanya mengandung nilai-nilai mimikri.
Tubuh hanya melakukan peniruan dan adaptasi dari gaya luar yang kemudian
dikritisi dan dikreasikan kembali ketika memasuki kancah pergaulan di kota
Ambon.
.
* Penulis adalah antropolog muda, akan menerbitkan
bukunya tahun ini (Biar Punggung Patah Asal Muka Jangan Pucat) tentang
gaya anak muda Ambon pasca konflik agama. Tulisan ini dipresentasikan dalam
Forum Interseksi 2008, Yogyakarta 17 Juni 2008.
[1]Sebutan untuk anak muda laki-laki.
2 Duduk-duduk diidentifikasikan sebagai kekuasaan
anak muda. Menempati suatu wilayah yang diduduki dengan serombongan anggota
mengakibatkan diketahuinya oleh orang lain, bahwa si A sering berdomisili di
suatu tempat. Sehingga jika kita mempunyai permasalahan dengan si A, atau
minimal memang segan, tak jarang harus memutar haluan mencari jalan alternatif
untuk tak berpapasan atau diketahui oleh si A. Dengan sendirinya, duduk-duduk
menghasilkan selektifitas orang-orang yang melewati di depannya. Duduk-duduk
mempunyai konsep yang serupa dengan Hanging Out; Kongkow; Nongkrong.
Dalam bahasa Jawa Timur istilah ini disebut Cangkruk, sedangkan dalam
bahasa Jogjakarta disebut Tete’. Chua Beng Huat menyebutnya sebagai
“Nothing is Happening”, yakni kegiatan menghabiskan waktu luang oleh anak muda.
Tak terjadi apa-apa, hanya duduk-duduk semata, sembari menggosip dan
melihat-lihat makhluk hidup yang berkeliaran. Lebih jauh periksa Beng Huat (41-55:2003).
3 Momentum struktural adalah ketika
dilakukan depolitisasi anak muda dengan diberlakukannya NKK/BKK oleh menteri
pendidikan dan kebudayaan Daud Jusuf di tahun 1983. Keputusan itu ditujukan
untuk memberangus semua gerakan anak muda yang dianggap merongrong stabilitas
pembangunan. Seperti dalam peristiwa Malari dan gerakan anak
muda dan mahasiswa tahun 1978 merupakan gerakan yang telah digagalkan oleh
negara. Secara garis
besar, saya membagi anak muda urban yang berbasis pada universitas di Indonesia
ke dalam tiga tipe, yakni mereka yang tegabung dalam aktivitas politik kekirian
yang terepresentasi oleh PRD (Partai Republik Demokrat). Anak muda ini
rata-rata berbaju seadanya, seperti kaum hippies di negara dunia ketiga,
dan para perempuannya tak jarang yang menghembuskan asap rokok disela-sela
diskusi. Gerakan anak muda ini mulai muncul secara gahar pasca tahun 1996. Tipe
kedua adalah anak muda modernis, berafiliasi pada organisasi keagamaan yang
telah mapan dan aman semenjak awal Orde Baru, seperti HMI (Himpunan Mahasiswa
Islam), PMII (Persatuan Mahasiswi Islam Indonesia) dan GMKI (Gerakan Mahasiswa
Kristen Indonesia). Tipe mahasiswa ketiga adalah mereka yang bersifat apolitis,
yakni anak muda yang hanya mementingkan nilai kuliah. Mereka mempunyai jalur
yang sama ketika berangkat dan pulang kuliah. Hari-hari hanya
diisi dengan pembicaraan ringan seperti diskusi tentang pacaran, menggosip dan
berbelanja.
4 Pembelokkan
makna kata pada Orde Baru, juga dilakukan pada kata rakyat yang
digantikan maknanya degan massa.
Kata ini dialamatkan untuk mengeluarkan masyarakat dari berbagai partisipasi
dan kepentingan politik parsial. Dan kata massa, mengacu pada masyarakat yang tidak
alami, jika ia menumpuk pada satu titik dan melakukan demonstrasi maka dianggap
membahayakan bagi stabilitas pembangunan. Saya Shiraishi dalam karya
etnografisnya menganalogikan bahwa mahasiswa yang melakukan demonstrasi di
jalanan sama seperti anak kecil yang membuat kegaduhan (noise) di dalam
kelas. Karena itu mereka pantas diperingatkan, jika perlu digebug (Shiraishi,
123-30: 1997).
5 Anak muda Ambon
masuk dalam kategorisasi yang mudah untuk dipatuhkan Negara. Tidak ada
resistensi berarti dari komunitas anak muda Ambon, kecuali membentuk gank yang
juga secara tidak langsung merupakan representasi dari gejolak politik buatan
Negara Seperti ketika anak-anak Ambon di Jakarta, menjadi perhatian publik
tatkala dipulangkannya mereka kembali ke Ambon. Pasca rusuh Ketapang di Jakarta
Utara, 1998 ratusan preman muda Ambon yang terkenal dengan berbagai bisnis
narkotika, prostitusi, perjudian hingga penagih hutang, harus rela kembali ke
kota asalnya (Human Rights Watch. March 1999, Vol. 11, No.1 (C) 3; Timer, 2002:
15). Gerakan anak muda ini sangat mudah “diombang-ambingkan” oleh gelombang
politik yang terjadi pada saat itu. Sebagai misal, hingga menjelang konflik di
Ambon pada tahun 1999, terdapat dua gangster terkemuka di Jakarta yang berasal
dari Ambon. Gangster yang rata-rata berisi anak berjiwa muda Ambon ini berlatar
belakang Islam yang dipimpin oleh Ongen Sangadji dan gangster berlatar belakang
Kristen dipimpin oleh Milton Tua Kota. Rivalitas keduanya tak berhenti karena
mantan isteri dari Ongen adalah perempuan yang kemudian dinikahi oleh Milton.
Di satu sisi Ongen merupakan peliharaan dari Geng Cendana berpayung Bambang
Trihatmodjo, sedangkan Milton mengaku berteduh pada Siti Hardiyanti Rukmana
(Mbak Tutut). Kabar tentang perseteruan mereka di Jakarta terdengar hingga oleh
anak-anak muda di kota Ambon yang membawa kebanggaan masingmasing. Hingga pada
akhirnya peperangan dan pengiriman besar-besaran kembali kedua geng ini ke kota
Ambon dianggap sebagai salah satu pemicu kerusuhan kota pada tahun 1999. (Dari
pihak geng Ongen Sangadji saja mereka memulangkan 604 preman).
6 Pembahasan mengenai
“gaya” mengacu kepada. Pertama, gaya mengacu kepada kebagusan fisik,
perangkat yang tengah dikenakan tubuh dan kepemilikan barang lainnya. Misalnya
seorang anak muda yang tidak ganteng sekalipun akan dikatakan gagah jika ia
mengenakan sepatu Adidas seharga 600 -800 ribu, atau mempunyai gadget
keluaran terbaru dari Creative dan I-Pod. Kedua, mengacu
pada kekuatan mabuk pada laki-laki. Ketiga, di kalangan anak mudanya, minuman
keras telah dikenal semenjak abad 17 ini (Knaap, Gerit J, 1991: 116-7).
Laki-laki yang dianggap gagah bukan hanya berani bertempur dalam konflik, namun
di sisi lain ia mempunyai daya tahan untuk menahan tubuhnya ketika mabuk
bersama rekan-rekannya. Bahkan konstruksi gagah akan semakin tidak terbantahkan
jika dalam keadaan mabuk justru terlihat semakin bijak dan berwawasan luas. Keempat,
makna gagah juga ditambah dengan kekuatan oral dan pembicaraan yang ekspresif.
Untuk mencapainya, maka strategi yang dilakukan adalah dengan melakukan ancaman
yang sifatnya hiperbolis, seperti
“Beta pukul se satu
kali, ose marayap“,
“ Beta pukul se satu
kali, ose tuli“
“Beta pukul se satu
kali, ose mulu bengkok mangkali ka apa?“
“Balah dia!“
(Sembelih dia!)
“Racun dia di tengah
hutan“
“Buang dia di air
masing“ (Air laut).
Kata
hiperbolik dan superlatif bukan hanya dilakukan pada nada ancaman seperti di
atas, melainkan juga ditujukan pada gerakan di ranah keromantisan. “Biar kata
ose gagah“, dalam artian gagah secara fisik, tapi sebagai pelengkap memainkan
kata-kata juga harus bagus. Orang lain bisa memakan kita punya gagah, karena
“pihak lawan“ bermain lebih halus dan romantis. Kepandaian dalam berkata-kata
ini merupakan senjata untuk menaklukkan perempuan yang diinginkan dalam jangka
waktu yang lebih singkat, dan menimbulkan kesan gaya bagi anak muda yang
berhasil menaklukkan perempuan dalam waktu singkat.
7 Agama Nunusaku digabungkan dengan
agama modern ketika masuknya jaman koloni. Superioritas kekuasaan yang
ditancapkan pada tubuh orang Ambon dengan menekankan bentuk sinkretisme.
Bartels mensinyalir bahwa konsepsi dan gagasan mengenai kekuasaan yang
disampaikan oleh Ben Anderson pada masyarakat Jawa, menjadi perkecualian di
wilayah Maluku Tengah ini, dimana ide-ide mengenai kekuasaan justru lebih dekat
dengan konsep Mana. Konsep ini mengacu kepada kekuatan sakral dan magis
yang dikerahkan oleh salah satu pemimpin supranatural dan dapat ditemukan
dimanamana, seperti pada laporan RR. Marrett pada masyarakat Iroquis di Amerika
hingga Melanesia di sepanjang Pasifik. Lebih lanjut periksa Bartels 1979: 283.
8 Keberadaan Ambon
Card juga dapat ditemui di kota Makassar, istilah yang mirip dengan Ambon
Card ini adalah ATL singkatan dari Ambon Tembak Langsung, dalam
artian mereka yang lahir di Ambon dan ketika menginjak usia remaja mulai
menjajaki kota lain. Ambon Card di Makassar tepatnya berada di dua
wilayah, yakni di Jalan Gunung Nona dan di Jalan Cendrawasih, sekitar Stadion
Mattoangin. Kedua wilayah ini disebut juga sebaga ”Ambon Kamp”. Sebagian
lainnya tersebar di daerah Pantai Losari, meski tidak sedominan dua tempat
sebelumnya. Ciri khas dari komunitas Ambon Card ini berbicara dalam
dialek Melayu Ambon, dengan beberapa campuran kosakata Belanda di dalamnya.
Komunitas yang sebenarnya juga merindukan suasana kota Ambon ini juga menjaga
identitasnya dengan menggunakan konsep “kampong dalam mulu” atau kampung yang
hanya ada di dalam mulut. Mulut juga menjadi bagian dari identitas gaya dalam
pergaulan, karena dialek Melayu Ambon yang digunakan sangat mudah dilafalkan
dengan menggunakan gerak seperti seorang rapper yang mempunyai percaya
diri demikian tinggi dalam setiap ucapan yang dikeluarkannya. Selain itu, di
titik-titik wilayah Ambon Card tentunya banyak ditemui nama fam
atau marga Ambon seperti Pattiasina; Pattinaya; Pattipelohi; Siahaya;
Wattimena; Manusama; Picanussa; Reuwpassa; Tapilattu; Karuwal hingga marga
Paays. Marga di Makassar sekaligus menunjukkan identitas negeri asal mereka,
seperti marga Paays dari Lateri; marga Picanussa dan Karuwal datang dari
kampung Aboeboe di Nusalaut; marga Pattisiana dari kampung Boi di Saparua,
Pattipelohi dari kampung Itawaka yang juga di Saparua dan marga Latuheru dari
Kilang.
9 Band
Ungu pada bulan Puasa 2006, atau yang dikenal oleh umat Islam dengan Bulan
Ramadhan mengeluarkan sebuah album rohani, dengan judul “Surgamu“. Album yang berisikan 10 track ini terdiri dari 5 buah track
versi audio & 5 buah track versi karaoke. Beberapa lagunya berupa pujaan
kepada nabi Islam bernama Muhammad, dan beberapa judul lagu yang menunjukkan
keislaman seperti “ Selamat Lebaran“.
10Istilah
abang adalah panggilan untuk anak muda Islam, sedangkan panggilan Bu yang
merupakan singkatan darri Bung adalah panggilan untuk anak muda Kristen.
11
Nuansa Islami semakin kental
tatkala berada di lantai dua Ambon Plasa. Di sisi barat
lantai dua, merupakan wilayah yang tak terlalu riuh untuk dilewati dan
dikunjungi. Terdapat
sebuah masjid, salon, dan warung makan. Beberapa laki-laki berjenggot,
berpakaian ala pasukan Taliban, keluar dari tempat ibadah ini. Mereka usai
melakukan peribadatan di siang hari, yang dinamakan “sholat dhuhur”. Di samping
masjid terdapat tempat wudlu dan toilet perempuan. Beberapa orang tua di dalam
menempatkan masjid di dalam plasa ini layaknya masjid di tengah-tengah kampung.
Mereka duduk berlama-lama untuk berdo’a kemudian mengobrol dengan beberapa
rekan hingga waktu yang tidak ditentukan. Wilayah barat di sudut plasa lantai 2
ini sangat bernuansa islami.
Lantainya sangat basah dan licin, karena beberapa orang menghambur keluar dari
tempat wudlu dan membawa air yang terserap di dalam sandal-sandal karetnya. Hampir
tak ada anak muda dan para gadis yang berada di sekitar area ini. Kaum muda tersebut hanya melewati
sebuah rumah makan disamping masjid, kemudian berbelok kembali menuju bagian
tengah lantai dua plasa, sebagai titik yang paling padat.
13
Di
Silale, tempat pengungsian yang telah berdiri rumah-rumah permanen, saya
mengunjungi seorang ibu kepala sekolah, Sausei Tualisa. Ia mempunyai empat
orang anak yang telah beranjak dewasa. Anak sulungnya lahir di tahun 1980,
nomer dua terlahir tahun 1983, anak nomer tiga terlahir tahun 1988 yang kini
duduk di bangku SMA. Sedangkan bungsu duduk kelas dua di bangku SMP. Mama Yenny
menempatkan empat pot berukir indah, di ruang bagian tamu. Empat pot tersebut
dibuat demi menandai kelahiran masing-masing anak Mama Tualisa. Masing-masing
pot tertera kata “semoga berguna bagi negeri“. Kata negeri disini mengacu
kepada konsep Ambon, yang diharapkan untuk dibangun oleh anak-anak yang
terlahir dan besar di kotanya sendiri.
14
Beberapa orang Ambon di Belanda
diakui masih mempunyai gaya berjalan yang khas. Cara berjalan digambarkan
Hulsboch dalam wawancara mendalamnya dengan orang Ambon di Belanda, cirik khas
mereka adalah variasi gaya berjalannya yang terkesan sempoyongan, terhuyung,
memandang dengan tajam, bergerak dengan sesekali sedikit lompatan, mengayun
pasti, namun seakan-akan tersorong atau tergelincir dan pinggul yang bergoyang
dnegan cepat penuh keangkuhan (Hulsboch, 173, 182: 2004)
Acuan
Anderson, Benedict. Revolusi
Pemoeda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Sinar
Harapan, 1988.
Bartels, Dieter. “Religious
Syncretism, Semantic Depletion and Secondary Interpretation in Ambonese Islam
and Christianity in the Moluccas”, 75th Annual Meeting of the American
Anthropological Association, November 17-21, 1976, Washington, D.C., within the
Symposium, New Meaning for a Changing World: Religion and Values in
South-east Asia.
-----------------“The Black Dutchmen:
A Preliminary Study of the Colonial Roots of South Moluccan Terrorism”.
Conference on the Rural Community and Political Change in Asia and Africa, SUNY
Buffalo, Nov. 18-19, 1977 (unpublished).
-------------------, “Alliances
Without Marriage: Exogamy, Economic Exchange, and Symbolic Unity Among Ambonese
Christian and Moslems”. Anthropology, III (1-2) 1980. Paper was
originally presented at the 76th Annual Meeting of the American Anthropological
Association (AAA), November 29-December 4, 1977
----------------------,“ Politicians
and Magicians: Power, Adaptive Strategies an Syncretism in the Central
Moluccas. In: What is Modern Indonesian Culture?. Gloria Davis, ed., Athens:
Ohio University Center for International Studies.p. 282-299, 1979
----------------------, “From Black
Dutchmen to White Moluccans: Ethnic Metamorphosis of an East-Indonesian
Minority in the Netherlands”. First Conference on Maluku Research. University
of Hawaii at Manoa. Center for Southeast Asian Studies. Honolulu. 1990, March,
16 -18.
-----------------------, “The
Evolution of God in Space Islands: The Converging and Diverging, of Phrotestant
Christianity and Islam in the Colonial and Postcolonial Periods”. Symposium
“Christianity in Indonesia” at the Frobenius Institute of the Johann Wolfgang
Gorhte University at Frankfurt/ Main on Desember 14, 2003.
----------------------,
“On Brutes and Brides: Displaying a Distinct Ethnic Identity in a Colonial
Context”, Presented to
the 16th Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia in
Wollongong, 2006.
Beng Huat, Chua. Life is Not
Complete Without Shopping. Consumption Culture in Singapore. 41-55:2003. Singapore University Press.
Chauvel, Richard.H. Nationalists,
Soldiers and Separatists: The Ambonese Islands from Colonialism to Revolt,
1880–1950. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en
Volkenkunde; 143. Leiden: KITLV Press, 1990.
Ewen Stuart, Images …Without Bottom.
…“ (1988) dalam The Consumer Society Reader. Juliet B Schor (ed). The
New Press, New York, 2000.
Fauzi, M. ““Lain Kota, Lain di
Front“: Jagoan dan Bajingan di Jakarta tahun 1950-an“. Internasional Urban Conference, Department of History Faculty of
Letters, Airlangga University – Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie
(NIOD). Surabaya, 20
Agustus 2004.
Hulsbosch, Marianne. Pointy
shoes and pith helmets: dress and identity construction in Ambon from 1850 to
1942. University of Wollongong, 2004.
Knaap, Gerit J. “A City
of Migran: Kota Ambon at the End of Seventeeth Century”. Www. cornel edu.com,
1991.
Ryter, Loren. “Pemuda Pancasila: The
Loyalist Free Men of Suharto’s Order”. Indonesia, Cornell Southeast
Asian Program, 66 (October), 1998.
Siegel, James T. Solo in the New
Order. Language, and Hierarchy in an Indonesian City. Princeton
University Press, 1986.
Shiraishi, Saya. Young Heroes.
The Indonesian Family in Politics. Southeast Asia Program. Cornell
University, 1997.
Timmer, Jaap. “Conflict and
Anthropology: Some Notes on Doing Consultacy work in Maluku Battleground
(Eastern Indonesia”. Fifth European Society for Oceanist in Viena, 4-6,
june 2002.
Tumenggung, Adeline A dan Nugroho,
Yanuar. “Marooned in the Junction, Indonesian Youth Participation in Politics”.
Go! Young Progressive in Southeast Asia. Tanpa tahun terbit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar