Kamis, 12 Januari 2012

“Nyong Ambon Pung Gaya”


“Nyong Ambon Pung Gaya”
Imajinasi Gaya dan Identitas Tubuh Anak Muda Kota Ambon

Hatib Abdul Kadir*

Pendahuluan
Kota Ambon yang sempit dan padat, menyebabkan pola interaksi anak muda menjadi lebih intensif. Pasca konflik, ruang publik anak muda, secara garis besar hanya terpusat pada dua tempat, yakni Ambon Plaza dan Lapangan Merdeka. Dari kesempitan ini tingkat persebaran gosip, isu dan perkembangan anak muda secara informatif sangat cepat menyebar. Gaya atau tingkah pola anak muda Ambon yang penuh sensasi, luar biasa atau bahkan menjengkelkan dengan cepatnya terkabarkan ke segala penjuru. Anak muda akan segera tahu, jika si A sebagai pelaku sesuatu, maka pendengar kabar atau saksi mata akan mengetahui, si A anak muda dari wilayah mana, siapa saudara yang dikenalnya, dan dimana ia sering duduk-duduk2.

Pakaian, selera makanan dan minuman, pilihan musik menggambarkan pengalaman sosio kultural. Demikian pula, pengalaman anak muda Ambon dalam menerjemahkan pilihan gaya hidup dan selera tubuh mengacu kepada benang historis dan nilai kultural. Kemampuan menjalankan gaya secara bergengsi pada sebagian anak muda Ambon, dianggap bagian dari transfer gaya kaum kolonial yang diadaptasi kembali dan terus diartikulasikan hingga ketika pasca konlik tahun 2002. Pencuatan gaya dikalangan anak muda, disinyalir karena dua hal, yakni anak muda yang memasuki masa usia transisi dan perlu menyampaikan ekspresi tubuh dengan mencolok, serta bentuk tingginya kesensitifan terhadap rasa keterasingan diri ketika berada di tengah modernitas sebuah kota (Ewen, 47-54: 1988).

Konstruksi Anak Muda dalam Negara
Anak muda digambarkan sebagai orang-orang paling bergelora, radikal dan heroik terhadap wacana anti kolonial. Munculnya Jong Java (Pemuda Jawa), Indonesia Muda (Pemuda Indonesia), Jong Islamietenbond (Liga Pemuda Islam), Jong Minahasa (Pemuda Minahasa), dan lainnya mengindikasikan pemuda identik dengan orientasi yang peduli dengan konstruksi Negara Bangsa. Setiap individu pemuda diharuskan mempunyai loyalitas kepatuhan terhadap negara sekaligus pelaku utama perubahan dan mempunyai berbagai potensi yang masih tertanam (Ryter, 47, 58: 1998). Salah satu karakter pemuda Indonesia seperti yang digambarkan Anderson tidak merujuk pada jenjang usia tertentu, dan memang pemuda di Indonesia dalam rentangan rejim tidak terbatas pada waktu tertentu (timeless) (Anderson 3: 1999)

Antropolog James T Siegel, melihat bahwa karakterisasi pemuda yang dianggap sangat politik pada masa Orde Baru, dibengkokkan ke istilah “remaja”. Sebuah istilah yang diidentikkan dengan anak-anak muda apolitis, dekat dengan perilaku konsumtif dan hasrat-hasrat ketubuhan yang bertingkah hedonistik3. Kata remaja juga mengacu kepada anak muda kelas menengah dengan pilihan-pilihan konsumsi yang telah selesai mengurusi permasalahan tubuh secara primer, seperti masalah gizi, kesehatan hingga pendidikan. Konsep remaja ataupun anak muda mempunyai satu kesamaan, yakni sangat peduli dengan selera (taste) dan tingkat konsumtifitas yang tinggi (Ryter, 58: 1998; Siegel, 203-4: 1986; Shiraishi, 1997: 149).

Pada masa Orde Baru beberapa konsep sengaja dikaburkan4. Sebagai misal konsep remaja yang berkelindan dengan makna anak muda. Meski sebuah organisasi negara bernama BKKBN (Badan Koordinasi Keluarga Berencana) mendefinisikan remaja sebagai mereka yang baru mengalami transisi fisik dari anak-anak menuju dewasa, yakni mereka yang berusia antara 10 hingga 21 tahun. Namun terdapat kesepakatan struktural dan kultural yang mengakui bahwa anak muda dewasa adalah mereka yang telah menginjak usia 17 tahun. Karena itu mereka berhak mendapatkan surat ijin mengemudi, mendapatkan kartu tanda penduduk, menghisap rokok, minum-minuman keras, melihat sinema dewasa di bioskop, hingga mencoblos dikala pemilihan umum yang diadakan dalam lima tahun sekali. Kartu-kartu yang diproduksi oleh negara menentukan identitas tubuh seseorang untuk menjadi dewasa atau tidak.

Mengenai konsep tentang anak muda yang dihadirkan oleh negara, berikut bagan yang saya buat berdasarkan hasil pembacaan terhadap beberapa literatur mengenai anak muda di Indonesia:

Anak Muda dalam Konstruksi Negara
Anak Muda yang di-Apolitisasikan
Anak Muda Musuh Negara
Anak Muda Bentukan Negara
Pemuda
Gali
Pemuda Pancasila
Siswa/i
Geng
Pemuda Panca Marga
Pelajar
Preman
Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia
Mahasiswa/i
Pemuda Berandalan
Angkatan Muda Golkar
Remaja
Anak Jalanan



Bagan di kolom pertama adalah anak muda yang berhasil ditaklukkan oleh negara. Sepanjang rejim Orde Baru, tampak pada NKK/BKK yang disahkan oleh Mendagri Daud Yusuf (1982-1983) menjadikan mahasiswa seperti macan kehilangan taring. Demikian pula istilah remaja seperti yang telah saya bahas di atas. Pada kolom kedua di tahun yang sama ribuan pemuda jalanan diberangus melalui Petrus (penembakan misterius sepanjang 1983-1985) dan juga dicap sebagai musuh negara karena dianggap mengancam stabilitas pembangunan. Semua anak muda harus dikerahkan untuk selalu mendukung pembangunan negara. Sedangkan anak muda yang tak dapat dipetakan oleh negara, terkonstruk dengan istilah anak jalanan, Gali dan geng jalanan.

Bagan di kolom ketiga adalah sekelompok anak muda yang mau dan mampu diklasifikasikan sebagai perangkat negara yang dimasukkan seperti ke dalam kelompok PP (Pemuda Pancasila). Ini adalah sebuah kelompok legal resmi yang mendukung satu partai dominan pada waktu itu yakni Golkar (Golongan Karya) (Ryter, 63: 1998). Negara menyebut anak muda ini sebagai ”preman sadar”, karena terdiri dari preman yang dibina negara5, dipupuk rasa nasionalismenya, namun pada saat yang sama menjadi becking perjudian, perlontean dan berbagai hiburan malam. Jika salah satu anggotanya kedapatan berbuat diluar hukum, akan disebut sebagai ”oknum”, sehingga tetap selamatlah organisasi di bawah negara tersebut (Ryter, 63-8: 1998). Terdapat pula organisasi yang disebut dengan Angkatan Muda Golkar (AMG) yang kategorisasi usia anggotanya diperlebar hingga mereka yang menginjak usia 40 tahun juga Pemuda Pancamarga dan Angkatan Muda Pembaharuan Indonesia (AMPI). Pragmatisme terhadap konsep anak muda pada kolom ketiga dikenakan demi berbagai suksesi yang diinginkan oleh negara. Konsep mengenai anak muda Indonesia pada kolom ketiga ini berkesan timeless, tak mempunyai batasan pada tingkatan umur tertentu. Karena konstruksi politik Orde Baru yang memasukkan institusi-institusi dengan kata ”muda” seperti diatas.

Hingga di usai pemerintahan Orde Baru, politisasi anak muda hanya berlaku sebentar dalam euphoria reformasi, karena kesadaran anak muda urban selanjutnya kembali mengarah kepada serangkaian ekspresi yang sifatnya menghindari dari kegiatan dan partisipasi politik praktis. Ada sebuah re-generasi yang tidak diteruskan dalam bidang kepedulian terhadap dunia politik dan ideologi khususnya. (Tumenggung dan Nugroho, 27:8, tanpa tahun terbit).

Modernitas Kolonial dalam Tubuh Anak Muda Ambon
Harus diakui bahwa agama Kristen menjadi salah satu faktor penentu yang paling penting dalam membentuk perkembangan gaya6 dan identitas modern pada anak muda di Ambon, karena agama ini identik dengan pihak koloni. Mendapatkan posisi penuh previlese membuat urban Ambon menyadari bahwa perbedaan antara “mereka” (anak muda Islam; anak muda Buton, Makassar) dan ‘kita” (anak muda Islam) telah mencolok semenjak masa kolonial. Identitas gaya tubuh telah terbagi ke dalam beberapa kluster, antara Islam dan Kristen; kluster etnis seperti China, Ambon itu sendiri, Jawa, serta orang-orang dari ujung Sulawesi seperti Buton, Bugis dan Makasar. Tubuh dan segala gayanya merupakan konstruksi dari dunia politik kolonial.

Pada pertengahan abad XVII, awal dari kepercayaan baru terhadap agama Kristen bukan didapat dari masyarakat Ambon semenjak lahir. Menjadi Kristen merupakan transformasi tubuh di usia muda, yang terjadi melalui tatanan pemerintahan koloni. Kekuasaan koloni membahasakan teologi dengan menciptakan ketergantungan personal melalui dominasi pekerjaan birokrasi, pakaian pola makan hingga pola mandi dan mencuci. Kepercayaan dikreasikan melalui konversi doktrin baru, seperti mengubah makna tubuh telanjang seperti yang biasa oleh kepercayaan sebelumnya, menjadi tidak boleh. Kekuasaan juga mengkonstruksi lanskap kota yang yang menegaskan hadirnya penguasa Kristen. Terjadi pula konversi pemaknaan terhadap Tuhan. Karena itu permasalahan memilih agama tidak terlepas dari unsur kepentingan politik. Jika merujuk pada asumsi bahwa agama dan keimanan adalah sistem asali yang dibentuk semenjak lahir, maka pengorbanan orang Ambon untuk mengubah kepercayaan dari Shamanisme ke bentuk agama Abrahamik merupakan suatu transfromasi yang patut dipertanyakan karena memeluk agama lebih didasarkan pada posisi tawar politik dan gengsi tubuh (Bartels, 4-5: 1976; 3-4: 1990). Disinilah saya memperkirakan bahwa modernitas. koloni memunculkan kesetaraan urgensi antara keimanan terhadap suatu agama dan gengsi. Demi gengsi dapat memasuki tataran birokrasi modern, warga Ambon mentransformasikan keimanan sebagai salah satu strateginya.

Seruan gaya tubuh dengan datangnya abad modern tidak dapat dipisahkan dari kondisi subjektif manusia. Ketakutan terhadap kecemasan, keluhan, terasing, ratapan terhadap kesendirian, terombang-ambing, terisolasi, rasa putus asa, tak terlihat dan tak dianggap, distrategikan dengan semangat demi menumbuhkan gaya sebagai “keangkuhan” dan kehormatan dalam identitas modern. Anak-anak muda Ambon tak hendak melepas identitas keetnisan di manapun kaki diinjak (Bartels, 1990: 5-6). Dengan bangganya mereka menyebut bahwa Maluku adalah propinsi kedua belas dari Belanda, kemanapun mereka berdiaspora. Kebanggaan tersebut muncul karena Belanda dianggap sebagai koloni yang berhasil memodernkan dan memperadabkan anak muda Ambon.

Salah satu modernitas yang dihasilkan adalah sistem sistem pendidikan, yang dikenal dengan istilah “sekolah madras” sekolah diasuh oleh gereja, terutama yang menunjang untuk pendidikan agama. Pelajaran yang disampaikan adalah berhitung, membaca dan tentu saja menyanyi (lagu-lagu rohani). (Leirizza, 2004: 76). Saya mensinyalir bahwa munculnya sekolah di jaman koloni, bertujuan untuk mengubah tiga hal, kecerdasan intelektual, keimanan dan gengsi. Perluasan reformasi pendidikan tidak semata mengubah ketersediaan manusia untuk menjadi pegawai negeri dan tentara, namun juga menciptakan relasi di antara orang-orang Ambon itu sendiri dengan pihak Koloni dan relasi horizontal dengan penduduk pribumi sendiri. Anak-anak burger menolak menjadi pekerja kasar, dan karena ingin menjadi pekerja kantoran mulai memasuki sekolah umum. Di berlakukannya sistem politik etik, mengubah sistem pendidikan yang berbasis keagamaan dan berorientasi pada keuntungan koloni, ke arah pendidikan yang humanis dan progresif. Maka berdirilah ABS (Ambon Burger School) pada tahun 1856. Bahasa Belanda digunakan sebagai pengantarnya. Sekolah tidak dipungut biaya, sehingga siapapun dapat menuntut ilmu di dalamnya. Dari sinilah kemudian anak muda kota Ambon benar-benar berperadaban dan semakin tercipta jarak dengan masyarakat di sekitarnya yang bukan orang kota dan bukan orang terdidik.

Di sisi lain anak muda Ambon Islam juga banyak yang mengapropriasi budaya kolonial, hal ini tampak pada banyaknya mereka yang direkrut menjadi tentara KNIL. Demikian pula ketika ide mengenai nasionalisme menyebar hingga ke Ambon, anak-anak muda terpelajar Islam juga menjadi penggerak utama dalam menentang sistem kolonialisme (Chauvel, 1990: 198). Namun demikian, tetap bersatunya orang Kristen dan Islam modern ke dalam identitas “Orang Ambon” tak lain karena kepercayaan terhadap satunya tradisi kepercayaan Nunusaku dan tunggalnya adat serta nenek moyang mereka7.

Pasca tahun 1930, pendirian sekolah tak lepas dari ide-ide nasionalisme seperti yang diusung anak-anak muda di Syarekat Ambon. Salah satu idenya adalah memunculkan pendidikan untuk mencegah anak muda melakukan migrasi ke kotakota di Jawa. Sekolah diharapkan mampu menjadi prasyarat mencerdaskan anak muda di kota Ambon sendiri. Kaum nasionalis juga menganggap bahwa belajar Bahasa Belanda adalah bentuk alienasi, karena itu perlu pendidikan dengan bahasa Ambon sendiri, yang didalamnya juga belajar tentang kultur Ambon (Chauvel, 1990: 152-3). Ide mengenai “nasionalisme ke-Ambonan” mulai digulirkan melalui pendidikan. Sekolah menempati posisi pengalaman penting dalam upaya “pembaratan”. Ajaran dan lingkungan pendidikan dianggap sebagai momen terjadinya transfer kekuasaan dari pemerintah Belanda. Bartels menyebutnya sebagai “White Power”. Sebagaimana ketika inspektur pendidikan J.A. Van Chijs, yang mengunjungi Ambon pada tahun 1869 melaporkan:

Among the pupils the knowledge of our language is much more developed than among for example the Javanese or Malays. In many respects our manners and customs have become theirs. While in Java, the native child in general would rather associate have with native than with the European and prefers to speak Malay than Dutch, with the Ambonese its just the reverse, as much as possible the ambonese want to be Dutchmen and it is their good fortune than in Ambon a certain intermingling between European and native axists (Historisch overzicht 1930-31; 1: 54-5, via Chauvel 1990: 31).


Van Chijs mengobservasi sistem gaya bersekolah pada sekelompok kecil anak muda Kristen yang terdidik dalam kota. Di dalam komunitas sekolah, kesempatan pendidikan lebih diperluas dibanding kesempatan yang didapat elit agama lokal dan elit adat. Beberapa penyebab “deman sekolah” tak lepas dari adanya malaise pada tahun 1930. Tak sedikit orang-orang Ambon keluar dari wilayah Maluku untuk menjadi tentara. Jaman Malaise menyebabkan anjloknya harga cengkeh di pasaran dunia dan merosotnya lowongan untuk bekerja di kantor-kantor pemerintahan. Sekitar 61% dari anak muda Kristen Ambon yang terdidik mulai bekerja di luar Maluku, seperti di birokrasi kolonial, guru, misionaris dan tentara. Anak-anak mereka mendapat standar posisi yang lebih tinggi, kemakmuran materi, fasilitas yang lebih lengkap dan mobilitas sosial yang lebih luas, dibanding mereka yang tinggal di dalam kota Ambon. Hal ini menunjukkan bahwa, “nasionalisme ke-Ambonan” lebih mengacu kepada produk sistem pendidikan Belanda yang didukung sepenuhnya dalam komunitas Kristen urban. Demikian pula ”nasionalisme ke-Ambonan” ini juga melanda di kalangan anak muda urban Islam (Chauvel, 1990, 205-8).


Mode pakaian anak muda keturunan Buton yang dianggap tidak memenuhi syarat bergaya anak muda Ambon

Konstruksi Imaji Anak Muda Ambon Paska Kolonial
Paska kolonial mengubah struktur bayangan tentang kiblat gaya anak muda. Dekolonisasi besar-besara yang dilakukan Negara Indonesia hingga tahun 1950 menjadikan anak muda Ambon melakukan diaspora ke kota-kota yang mulai pesat membangun, yakni kota-kota di Jawa.

Imaji “pergi lihat“ atau tinggal di kota-kota besar di Jawa mengacu kepada kesuksesan ekonomi atau sekedar berbelanja, belajar bahkan bekerja. Karena sepulang dari sana ada narasi yang diceritakan di sesama anak muda Ambon. Migrasi anak muda Ambon yang dilakukan pasca kolonial, seperti tertera dalam tulisan M Fauzi, menceritakan kembali pengalaman Maun Sarifin, yang pernah bekerja sebagai petugas kebersihan di stasiun Jatinegara:

Yang namanya calo dari dulu ada di bioskop. Tapi kita bukan ngituin suku ya. Yang banyakan tuh anak-anak yang dari Ambon. Dulu, waktu itu anak-anak itu kan misih apa sih anak emas gitu ya ama Belanda kan. Jadi seolah-olah dia tuh paling tinggi di situ. Jadi dikuasai oleh orang-orang itu, anak-anak itu. (Sebagaimana diungkapkan pelaku sejarah Sarifin, dalam Fauzi, 2004: 21).


Bahkan penduduk di Batavia pun punya bayangan terhadap gaya anak muda Ambon. Diaspora yang dilakukan di kota-kota besar di Jawa mengkonstruksi imaji tersendiri bagi penduduk di Jawa. Identitas anak muda yang hanya lahir di kota Ambon atau orang tua mereka berasal dari Ambon, disebut sebagai Ambon Card. Ambon Card ini menempati posisi gengsi tertinggi dalam imaji anak muda di Kota Ambon. Karena generasi Ambon Card dianggap mempunyai nilai lebih untuk mengetahui tentang dunia cosmopolitan kota-kota besar di luar kota Ambon, dan dalam hidupnya, mereka kemudian menjadi sukses secara ekonomi8

Sedangkan di dalam kota sendiri, anak muda Ambon membatasi dirinya dengan beberapa suku bangsa yang dianggapnya tidak mempunyai nilai gengsi dan gaya. Anak muda kota Ambon mempunyai latar belakang kedekatan sejarah dengan birokrasi kolonial. Kedekatan ini dianggap sebagai nilai lebih dibanding suku bangsa lainnya. Suku bangsa yang tidak mempunyai pengalaman pertemuan dengan koloni adalah Buton. Anak muda Buton nyaris tidak mempunyai tempat khusus di mata Belanda dan birokrasi modern.

Selama melakukan migrasi ke kota Ambon, anak muda Buton hidup dari membuat makanan, menjadi tukang becak dan di beberapa jasa sektor informal lainnya. Dibanding anak-anak muda Ambon, mereka jauh lebih tidak terdidik. Sehingga dalam penentuan dan kebijakan politik kota, anak muda Buton nyaris tak masuk dalam perhitungan signifikan. Dimata anak muda Ambon Kristen maupun Islam, anak muda Buton dianggap jauh berada di bawah dan inferior (backward people), namun inferioritas ini tetap tidak menutup kemungkinan anak muda muslim Ambon untuk menikah dengan orang-orang Buton. Anak muda Islam Ambon menganggap bahwa perempuan Buton adalah pekerja keras, hemat dan mempunyai jiwa pengusaha. Hal terpenting bahwa mereka tak gengsi untuk memilih berbagai pekerjaan apapun yang dapat dilakoninya. Rendahnya tingkat pendidikan dan sempitnya lapangan kerja membuat anak-anak muda Buton sering dianggap menjadi pelaku kriminal di kota. Mereka berangasan juga di lingkungan ketetanggaan. Rusuh-rusuh kecil pada malam hari menjadi biasa di kampung-kampung kumuh yang ditempati rata-rata migran Buton, seperti di wilayah Silale, Soabali dan Abdulali’e. Di kota Ambon, orang-orang Buton ini tidak diterima sepenuh hati sebagai orang Ambon kota. Mereka mengalami bentuk ketidakjelasan identitas yang terombang-ambing. Persepsi asal-usul mereka ditolak dari dua arah, di Ambon dan Buton sekaligus. Salah satu sebab termasuknya orang Buton ke dalam kategori polutif, sebagaimana dilaporkan oleh Palmer: …

migrants often recall how Ambonese people swear at friends when they meet them, spend what they have immediately, and live to be fashionable (bergaya), in contrast to the migrants being polite, saving their money, and not being as interested in looking trendy. When the discussion turns to life in Buton, the returnees often mention how people here are stingy with money, not helping each other like how it is done in Ambon (Palmer, 2004: 92).


“Kesederhanaan” bergaya anak muda Buton justru dianggap sebagai bagian dari kepelitan mereka untuk tak mengalokasikan uang dalam memperhatikan lebih terhadap tubuh dan gaya dandanan. Dalam pandangan anak muda Ambon, gaya berpakaian trendi yang merepresentasi kesolidaritasan antar teman tidak diterapkan dalam kultur lokalitas anak muda Buton. Gaya berpakaian kemudian menciptakan batas antara “kita” dan ”mereka” dalam struktur kekuasaan anak muda Ambon. Di sisi lain gaya dandan tubuh menciptakan seperangkat kecemburuan sosial diantara anak-anak muda Buton yang melihat itu hanya rekaan “kesombongan” yang dikonstruksi anak-anak muda .

Konstruksi Imaji Anak Muda Ambon Paska Konflik Agama (1999-2002)
Konflik selama lebih dari tiga tahun di Ambon telah menyebabkan tajamnya disparitas identitas anak muda hingga saat ini. Identitas tidak lagi terbelah antara siapa anak muda urban ambon dengan siapa yang bukan, melainkan antara anak muda Ambon yang beragama Kristen dengan anak muda Ambon yang beragama Islam. Anak-anak muda migran yang selama ini inferior, seperti anak muda Buton, Jawa dan Makasar berafiliasi ke anak muda Islam Ambon.

Meski telah damai, kota Ambon masih menyisakan batas-batas kultural yang semakin menguat perbedaannya antara Kristen dan Islam. Pada bentuk pilihan musik misalnya. Anak-anak muda Islam lebih menyukai Pasha dan Band Ungunya, Islam, dikarenakan dua hal. Pertama, band ini menjadi salah satu pengiklan utama pakaian distro bernama Black Id. Sebuah perusahaan pakaian (clothing company) independen yang bermarkas di Bandung. Kaos dari Black Id ini sering dipakai oleh Pasha. Pasca konflik, aspirasi terhadap pakaian independen (baca: Indie) semacam Black Id ini justeru lebih banyak menyebar di anak muda komunitas Islam, mengingat barang yang masuk melalui pelabuhan dagang diakses terlebih dahulu oleh pedagang di pesisir yang notabene Islam. Kedua, Band Ungu mengkonstruksi dirinya sebagai band Muslim ketika pada bulan puasa/ramadhan 2006 mengeluarkan sebuah album rohani Islam9.

Sedangkan pada ruang kota dapat dilihat pada satu-satunya mall di Ambon, yakni Ambon Plasa, menjadi saksi transformasi pindahnya kelas menengah keturunan Cina yang menghilang paska konflik dan tergantikan dengan gaya anak muda Islam yang sangat mendominasi. Tatkala saya memasuki lantai dasar Ambon Plasa, para pedagang di stan-stan tak berhentinya mengajukan pertanyaan “cari apa abang?”10. Begitu memasuki plasa, nuansa keislaman langsung dapat dirasakan. Dua pintu utama yang berada di dalam mall ini menjual perangkat busana muslim dan kopyah. Pada busana muslim di depan etalase didominasi oleh warna merah muda dan putih. Terdapat sebuah patung kepala perempuan berwajah putih beralis tebal yang diberi kerudung. Sedangkan penjualan tasbih, kopyah dan sajadah berada pada mulut pintu utama di bagian timur. Beberapa penjual berjenggot lebat dan mengenakan celana hingga di atas mata kaki. Sesekali mereka bersalaman tatkala menemui beberapa rekan yang ternyata juga tengah berbelanja11.

Karena terletak di pesisir yang dikuasai oleh komunitas Islam, Ambon Plasa otomatis menjadi milik kekuasaan anak muda Islam. Tak sedikit anak muda Kristen yang merasa was-was untuk datang ke tempat ini.

mode pakaian anak muda Buton
Pasca kerusuhan (1999-2003), terjadi hilangnya dominasi gaya klas menengah Cina Ambon, dan kini didominasi oleh gaya anak muda Islam


Pada tingkatan imajinasi, disparitas konstruksi ruang perkotaan pasca konflik ditindaklanjuti dengan perbedaan-perbedaan superficial seperti makna kecantikan. Di kalangan anak muda Kristen, imaji ketampanan, kecantikan dan kegagahan lebih mengacu kepada anak muda keturunan Ambon-Belanda. Sedangkan pada anak muda Ambon Islam, kecantikan dan kegagahan lebih mengacu kepada anak muda keturunan Ambon-Arab. Dua model keturunan ini terdapat di kota Ambon, dan dianggap sebagai manusia yagn berfisik ideal, pada masing-masing komunitas Kristen maupun Islam.

Kesamaan konstruksi tubuh ideal di antara komunitas anak muda Kristen dan Islam adalah, sama-sama berhidung tinggi alias mancung, baik dari keturunan Ambon-Arab dan Ambon-Belanda. Inilah mengapa kemudian anak muda Ambon tak begitu mengidealkan kecantikan ala perempuan Jawa ataupun Sunda yang secara fisik dianggap berkulit pucat, berhidung pesek dan mempunyai karakter yang terlalu lembek. Prasyarat fisik sangat penting, mengingat kebagusan tubuh pada pasangan kekasih berperan penting untuk menaikkan gengsi laki-laki yang berada di jalanan kota. Tujuan dari keinginan untuk mendapatkan perempuan, oleh anak muda Ambon karena nantinya akan di pamerkan ke wilayah publik. Ia dijadikan kebanggaan di depan teman-teman, hingga kemudian akan menciptakan perbincangan yang mengandung nilai salut di kota yang berukuran kecil ini. Lebih dari itu, idealitas fisik anak muda pasca konflik menunjukkan pasca konflik di Ambon, perbedaan masih tetap terpelihara, dan pengusung penting dari perbedaan ini adalah anak muda.

mode pakaian anak muda Buton
Dua anak muda Belanda berketurunan Ambon. Syarat dari kegagahan dan ketampanan ideal, yang diinginkan perempuan Ambon.



mode pakaian anak muda Buton
“Ila Fadila…Nona manis arab ambon..e..” Adalah Imaji kecantikan yang direkonstruksi pada komunitas urban Islam. Ini adalah sebuah judul lagu yang dibawakan Oleh Doddy Latuharhari, vokalis Nanaku, dengan Judul “Lampu Lima”12.


Penutup
Konstruksi gaya yang dibangun pada masa kolonial adalah anak muda dan kedekatannya dengan Belanda. Kedua, pasca kolonial hubungan perbedaan lebih ditekankan pada interaksi antar etnis dibanding agama. Dalam artian anak muda Ambon (baik Kristen maupun Islam) lebih menganggap bahwa anak muda migran Buton, Jawa dan Makasar lebih inferior dibanding mereka. Sedangkan konstruksi identitas ketiga adalah, terjadinya disparitas ruang dan imajinasi identitas antar agama yang baru saja berkonflik, yakni Islam-Kristen.       

Nasionalitas yang dibangun oleh anak muda Ambon selama masa Orde Baru, adalah dengan membedakan konsep antara “negeri” dengan “negara“. Dalam mengkonstruksi negara, anak muda Ambon secara ambigu menyatakan iri sekaligus terkagum terhadap kemajuan yang terjadi di pusat pemerintahan negara, yakni Jawa. Berbeda halnya dengan “negeri“, mengacu kepada tanah Maluku dan kota Ambon khususnya yang bermuatan emosional, penuh dengan tangis kerinduan yang tidak berdasarkan ketegangan Kristen-Islam13.

Gaya dan identitas tubuh dikosntruksi berdasarkan replikasi dari kekuasaan kaum kulit putih, dijalankan masyarakat pribumi dengan melakukan inkorporasi ke dalam berbagai variasi kehidupannya. Gaya tubuh menjadi strategi unifikasi masyarakat pribumi terhadap masyarakat koloni. Dengan demikian, saya berkesimpulan bahwa gaya tubuh bukan hanya milik koloni Belanda, melainkan juga dinarasikan kembali oleh pemiliknya, yakni masyarakat pribumi Ambon yang mengolahnya kembali pada masa paska kolonial. Bahkan ditransformasikan kembali pada periode pasca kerusuhan 1999-2002.

Transformasi kemodernan yang memunculkan kesadaran akan gaya tubuh dikonstruksi melalui empat interaksi, yakni yakni pengalaman militer, pendidikan, pakaian dan agama. Pada tahun 1895, di kalangan anak muda keinginan untuk menjadi tentara dan pegawai negeri semakin marak, karena menurunnya harga cengkeh di pasaran internasional. Ditambah dengan monopoli harga yang dilakukan koloni Belanda. Abad ke-19 merupakan transformasi besar-besaran di mana orang Ambon mulai mereorientasi atribut apa yang hendak dijadikan sebagai gaya tubuhnya. Ambisi yang dilakukan tidak hanya memeluk agama Kristen, namun juga mencari sekolah alternatif yang lebih prestisius, demi mendapat kedudukan sebagai pegawai pemerintahan sipil atau menjadi tentara di tangsi-tangsi. Munculnya gengsi dan gaya orang Ambon, karena posisi politik, pendidikan, ekonomi dan kedudukan militer yang cukup istimewa. Perasaan superioritas terisi di antara orang Ambon yang menjadi tentara KNIL.

Pada masa paska kolonial, konstruksi imaji terhadap kota di luar Ambon lebih ditentukan oleh dua hal:

Pertama, pola perpindahan anak muda Ambon justeru bukan dihadirkan dari ruang-ruang televisi, melainkan melalui tingkat narasi yang dilakukan dengan cara pengkomparasian ruang kota. Untuk menyamakan dengan ibukota, sebuah ruang publik di Jakarta selalu dibandingkan dengan ruang publik di Ambon yang berkali-kali lipat ukurannya, sehingga anak muda mempunyai rasa ingin tahu dan segera ingin membuktikannya. Begitu anak muda berada di luar dari kota Ambon, koreksi dan repetisi tubuh bukan berarti akan gugur. Gaya dan identitas tubuh justru tetap dipertahankan karena inginnya menunjukkan identitas ke Ambonan. Mengetahui anak muda Ambon di kota-kota di Jawa bahkan di Belanda misalnya, cukup memerlukan radar yang sangat mudah. Bukan hanya dari air muka dan rambut, namun juga dalam bentuk gaya jalan dan penampilan14.

Kedua, gaya sebagai kebudayaan generik. Gengsi dan gaya sebagai kebudayaan generatif membuat anak-anak pada usia sebelum remaja, dikonstruksi seperti anak muda. Anak muda Ambon mencoba mempertahankan masa kebebasan selama mungkin. Cara yang dilakukan tidak harus dengan menunda pernikahan, melainkan meski menikah namun tetap mempunyai kebebasan seperti ketika sebelum menikah. Untuk mempresentasikan tubuh di ruang publik, anak muda urban Ambon terus dipantau secara reguler dan diatur agar selalu tetap muda. Strategi mempertahankan gaya muda dilakukan seperti meluruskan rambut, mengenakan topi dan bertindak dijalanan secara maskulin. Agar tampak muda, maka dilakukan pembalikan terhadap konsep sejarah nasib tubuh yang dipandang selalu bermuatan linear. Dari kecil sampai besar, dari muda sampai tua dan dari lahir sampai mati, termanipulasi ke dalam bentuk tubuh yang dikondisikan agar selalu dalam keadaan muda. Dukungan yang begitu kuat dari berbagai elemen masyarakat, membuat gaya pada anak muda Ambon tidak mengandung resistensi yang berarti, melainkan hanya mengandung nilai-nilai mimikri. Tubuh hanya melakukan peniruan dan adaptasi dari gaya luar yang kemudian dikritisi dan dikreasikan kembali ketika memasuki kancah pergaulan di kota Ambon.





 .


* Penulis adalah antropolog muda, akan menerbitkan bukunya tahun ini (Biar Punggung Patah Asal Muka Jangan Pucat) tentang gaya anak muda Ambon pasca konflik agama. Tulisan ini dipresentasikan dalam Forum Interseksi 2008, Yogyakarta 17 Juni 2008.

[1]Sebutan untuk anak muda laki-laki.

2 Duduk-duduk diidentifikasikan sebagai kekuasaan anak muda. Menempati suatu wilayah yang diduduki dengan serombongan anggota mengakibatkan diketahuinya oleh orang lain, bahwa si A sering berdomisili di suatu tempat. Sehingga jika kita mempunyai permasalahan dengan si A, atau minimal memang segan, tak jarang harus memutar haluan mencari jalan alternatif untuk tak berpapasan atau diketahui oleh si A. Dengan sendirinya, duduk-duduk menghasilkan selektifitas orang-orang yang melewati di depannya. Duduk-duduk mempunyai konsep yang serupa dengan Hanging Out; Kongkow; Nongkrong. Dalam bahasa Jawa Timur istilah ini disebut Cangkruk, sedangkan dalam bahasa Jogjakarta disebut Tete’. Chua Beng Huat menyebutnya sebagai “Nothing is Happening”, yakni kegiatan menghabiskan waktu luang oleh anak muda. Tak terjadi apa-apa, hanya duduk-duduk semata, sembari menggosip dan melihat-lihat makhluk hidup yang berkeliaran. Lebih jauh periksa Beng Huat (41-55:2003).
3 Momentum struktural adalah ketika dilakukan depolitisasi anak muda dengan diberlakukannya NKK/BKK oleh menteri pendidikan dan kebudayaan Daud Jusuf di tahun 1983. Keputusan itu ditujukan untuk memberangus semua gerakan anak muda yang dianggap merongrong stabilitas pembangunan. Seperti dalam peristiwa Malari dan gerakan anak muda dan mahasiswa tahun 1978 merupakan gerakan yang telah digagalkan oleh negara. Secara garis besar, saya membagi anak muda urban yang berbasis pada universitas di Indonesia ke dalam tiga tipe, yakni mereka yang tegabung dalam aktivitas politik kekirian yang terepresentasi oleh PRD (Partai Republik Demokrat). Anak muda ini rata-rata berbaju seadanya, seperti kaum hippies di negara dunia ketiga, dan para perempuannya tak jarang yang menghembuskan asap rokok disela-sela diskusi. Gerakan anak muda ini mulai muncul secara gahar pasca tahun 1996. Tipe kedua adalah anak muda modernis, berafiliasi pada organisasi keagamaan yang telah mapan dan aman semenjak awal Orde Baru, seperti HMI (Himpunan Mahasiswa Islam), PMII (Persatuan Mahasiswi Islam Indonesia) dan GMKI (Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia). Tipe mahasiswa ketiga adalah mereka yang bersifat apolitis, yakni anak muda yang hanya mementingkan nilai kuliah. Mereka mempunyai jalur yang sama ketika berangkat dan pulang kuliah. Hari-hari hanya diisi dengan pembicaraan ringan seperti diskusi tentang pacaran, menggosip dan berbelanja.
4 Pembelokkan makna kata pada Orde Baru, juga dilakukan pada kata rakyat yang digantikan maknanya degan massa. Kata ini dialamatkan untuk mengeluarkan masyarakat dari berbagai partisipasi dan kepentingan politik parsial. Dan kata massa, mengacu pada masyarakat yang tidak alami, jika ia menumpuk pada satu titik dan melakukan demonstrasi maka dianggap membahayakan bagi stabilitas pembangunan. Saya Shiraishi dalam karya etnografisnya menganalogikan bahwa mahasiswa yang melakukan demonstrasi di jalanan sama seperti anak kecil yang membuat kegaduhan (noise) di dalam kelas. Karena itu mereka pantas diperingatkan, jika perlu digebug (Shiraishi, 123-30: 1997).
5 Anak muda Ambon masuk dalam kategorisasi yang mudah untuk dipatuhkan Negara. Tidak ada resistensi berarti dari komunitas anak muda Ambon, kecuali membentuk gank yang juga secara tidak langsung merupakan representasi dari gejolak politik buatan Negara Seperti ketika anak-anak Ambon di Jakarta, menjadi perhatian publik tatkala dipulangkannya mereka kembali ke Ambon. Pasca rusuh Ketapang di Jakarta Utara, 1998 ratusan preman muda Ambon yang terkenal dengan berbagai bisnis narkotika, prostitusi, perjudian hingga penagih hutang, harus rela kembali ke kota asalnya (Human Rights Watch. March 1999, Vol. 11, No.1 (C) 3; Timer, 2002: 15). Gerakan anak muda ini sangat mudah “diombang-ambingkan” oleh gelombang politik yang terjadi pada saat itu. Sebagai misal, hingga menjelang konflik di Ambon pada tahun 1999, terdapat dua gangster terkemuka di Jakarta yang berasal dari Ambon. Gangster yang rata-rata berisi anak berjiwa muda Ambon ini berlatar belakang Islam yang dipimpin oleh Ongen Sangadji dan gangster berlatar belakang Kristen dipimpin oleh Milton Tua Kota. Rivalitas keduanya tak berhenti karena mantan isteri dari Ongen adalah perempuan yang kemudian dinikahi oleh Milton. Di satu sisi Ongen merupakan peliharaan dari Geng Cendana berpayung Bambang Trihatmodjo, sedangkan Milton mengaku berteduh pada Siti Hardiyanti Rukmana (Mbak Tutut). Kabar tentang perseteruan mereka di Jakarta terdengar hingga oleh anak-anak muda di kota Ambon yang membawa kebanggaan masingmasing. Hingga pada akhirnya peperangan dan pengiriman besar-besaran kembali kedua geng ini ke kota Ambon dianggap sebagai salah satu pemicu kerusuhan kota pada tahun 1999. (Dari pihak geng Ongen Sangadji saja mereka memulangkan 604 preman).
6 Pembahasan mengenai “gaya” mengacu kepada. Pertama, gaya mengacu kepada kebagusan fisik, perangkat yang tengah dikenakan tubuh dan kepemilikan barang lainnya. Misalnya seorang anak muda yang tidak ganteng sekalipun akan dikatakan gagah jika ia mengenakan sepatu Adidas seharga 600 -800 ribu, atau mempunyai gadget keluaran terbaru dari Creative dan I-Pod. Kedua, mengacu pada kekuatan mabuk pada laki-laki. Ketiga, di kalangan anak mudanya, minuman keras telah dikenal semenjak abad 17 ini (Knaap, Gerit J, 1991: 116-7). Laki-laki yang dianggap gagah bukan hanya berani bertempur dalam konflik, namun di sisi lain ia mempunyai daya tahan untuk menahan tubuhnya ketika mabuk bersama rekan-rekannya. Bahkan konstruksi gagah akan semakin tidak terbantahkan jika dalam keadaan mabuk justru terlihat semakin bijak dan berwawasan luas. Keempat, makna gagah juga ditambah dengan kekuatan oral dan pembicaraan yang ekspresif. Untuk mencapainya, maka strategi yang dilakukan adalah dengan melakukan ancaman yang sifatnya hiperbolis, seperti
“Beta pukul se satu kali, ose marayap“,
“ Beta pukul se satu kali, ose tuli“
“Beta pukul se satu kali, ose mulu bengkok mangkali ka apa?“
“Balah dia!“ (Sembelih dia!)
“Racun dia di tengah hutan“
“Buang dia di air masing“ (Air laut).
Kata hiperbolik dan superlatif bukan hanya dilakukan pada nada ancaman seperti di atas, melainkan juga ditujukan pada gerakan di ranah keromantisan. “Biar kata ose gagah“, dalam artian gagah secara fisik, tapi sebagai pelengkap memainkan kata-kata juga harus bagus. Orang lain bisa memakan kita punya gagah, karena “pihak lawan“ bermain lebih halus dan romantis. Kepandaian dalam berkata-kata ini merupakan senjata untuk menaklukkan perempuan yang diinginkan dalam jangka waktu yang lebih singkat, dan menimbulkan kesan gaya bagi anak muda yang berhasil menaklukkan perempuan dalam waktu singkat.
7 Agama Nunusaku digabungkan dengan agama modern ketika masuknya jaman koloni. Superioritas kekuasaan yang ditancapkan pada tubuh orang Ambon dengan menekankan bentuk sinkretisme. Bartels mensinyalir bahwa konsepsi dan gagasan mengenai kekuasaan yang disampaikan oleh Ben Anderson pada masyarakat Jawa, menjadi perkecualian di wilayah Maluku Tengah ini, dimana ide-ide mengenai kekuasaan justru lebih dekat dengan konsep Mana. Konsep ini mengacu kepada kekuatan sakral dan magis yang dikerahkan oleh salah satu pemimpin supranatural dan dapat ditemukan dimanamana, seperti pada laporan RR. Marrett pada masyarakat Iroquis di Amerika hingga Melanesia di sepanjang Pasifik. Lebih lanjut periksa Bartels 1979: 283.
8 Keberadaan Ambon Card juga dapat ditemui di kota Makassar, istilah yang mirip dengan Ambon Card ini adalah ATL singkatan dari Ambon Tembak Langsung, dalam artian mereka yang lahir di Ambon dan ketika menginjak usia remaja mulai menjajaki kota lain. Ambon Card di Makassar tepatnya berada di dua wilayah, yakni di Jalan Gunung Nona dan di Jalan Cendrawasih, sekitar Stadion Mattoangin. Kedua wilayah ini disebut juga sebaga ”Ambon Kamp”. Sebagian lainnya tersebar di daerah Pantai Losari, meski tidak sedominan dua tempat sebelumnya. Ciri khas dari komunitas Ambon Card ini berbicara dalam dialek Melayu Ambon, dengan beberapa campuran kosakata Belanda di dalamnya. Komunitas yang sebenarnya juga merindukan suasana kota Ambon ini juga menjaga identitasnya dengan menggunakan konsep “kampong dalam mulu” atau kampung yang hanya ada di dalam mulut. Mulut juga menjadi bagian dari identitas gaya dalam pergaulan, karena dialek Melayu Ambon yang digunakan sangat mudah dilafalkan dengan menggunakan gerak seperti seorang rapper yang mempunyai percaya diri demikian tinggi dalam setiap ucapan yang dikeluarkannya. Selain itu, di titik-titik wilayah Ambon Card tentunya banyak ditemui nama fam atau marga Ambon seperti Pattiasina; Pattinaya; Pattipelohi; Siahaya; Wattimena; Manusama; Picanussa; Reuwpassa; Tapilattu; Karuwal hingga marga Paays. Marga di Makassar sekaligus menunjukkan identitas negeri asal mereka, seperti marga Paays dari Lateri; marga Picanussa dan Karuwal datang dari kampung Aboeboe di Nusalaut; marga Pattisiana dari kampung Boi di Saparua, Pattipelohi dari kampung Itawaka yang juga di Saparua dan marga Latuheru dari Kilang.
9 Band Ungu pada bulan Puasa 2006, atau yang dikenal oleh umat Islam dengan Bulan Ramadhan mengeluarkan sebuah album rohani, dengan judul “Surgamu“. Album yang berisikan 10 track ini terdiri dari 5 buah track versi audio & 5 buah track versi karaoke. Beberapa lagunya berupa pujaan kepada nabi Islam bernama Muhammad, dan beberapa judul lagu yang menunjukkan keislaman seperti “ Selamat Lebaran“.

10Istilah abang adalah panggilan untuk anak muda Islam, sedangkan panggilan Bu yang merupakan singkatan darri Bung adalah panggilan untuk anak muda Kristen.

11 Nuansa Islami semakin kental tatkala berada di lantai dua Ambon Plasa. Di sisi barat lantai dua, merupakan wilayah yang tak terlalu riuh untuk dilewati dan dikunjungi. Terdapat sebuah masjid, salon, dan warung makan. Beberapa laki-laki berjenggot, berpakaian ala pasukan Taliban, keluar dari tempat ibadah ini. Mereka usai melakukan peribadatan di siang hari, yang dinamakan “sholat dhuhur”. Di samping masjid terdapat tempat wudlu dan toilet perempuan. Beberapa orang tua di dalam menempatkan masjid di dalam plasa ini layaknya masjid di tengah-tengah kampung. Mereka duduk berlama-lama untuk berdo’a kemudian mengobrol dengan beberapa rekan hingga waktu yang tidak ditentukan. Wilayah barat di sudut plasa lantai 2 ini sangat bernuansa islami. Lantainya sangat basah dan licin, karena beberapa orang menghambur keluar dari tempat wudlu dan membawa air yang terserap di dalam sandal-sandal karetnya. Hampir tak ada anak muda dan para gadis yang berada di sekitar area ini. Kaum muda tersebut hanya melewati sebuah rumah makan disamping masjid, kemudian berbelok kembali menuju bagian tengah lantai dua plasa, sebagai titik yang paling padat.
13 Di Silale, tempat pengungsian yang telah berdiri rumah-rumah permanen, saya mengunjungi seorang ibu kepala sekolah, Sausei Tualisa. Ia mempunyai empat orang anak yang telah beranjak dewasa. Anak sulungnya lahir di tahun 1980, nomer dua terlahir tahun 1983, anak nomer tiga terlahir tahun 1988 yang kini duduk di bangku SMA. Sedangkan bungsu duduk kelas dua di bangku SMP. Mama Yenny menempatkan empat pot berukir indah, di ruang bagian tamu. Empat pot tersebut dibuat demi menandai kelahiran masing-masing anak Mama Tualisa. Masing-masing pot tertera kata “semoga berguna bagi negeri“. Kata negeri disini mengacu kepada konsep Ambon, yang diharapkan untuk dibangun oleh anak-anak yang terlahir dan besar di kotanya sendiri.
14 Beberapa orang Ambon di Belanda diakui masih mempunyai gaya berjalan yang khas. Cara berjalan digambarkan Hulsboch dalam wawancara mendalamnya dengan orang Ambon di Belanda, cirik khas mereka adalah variasi gaya berjalannya yang terkesan sempoyongan, terhuyung, memandang dengan tajam, bergerak dengan sesekali sedikit lompatan, mengayun pasti, namun seakan-akan tersorong atau tergelincir dan pinggul yang bergoyang dnegan cepat penuh keangkuhan (Hulsboch, 173, 182: 2004)



Acuan
Anderson, Benedict. Revolusi Pemoeda, Pendudukan Jepang dan Perlawanan di Jawa 1944-1946. Sinar Harapan, 1988.
Bartels, Dieter. “Religious Syncretism, Semantic Depletion and Secondary Interpretation in Ambonese Islam and Christianity in the Moluccas”, 75th Annual Meeting of the American Anthropological Association, November 17-21, 1976, Washington, D.C., within the Symposium, New Meaning for a Changing World: Religion and Values in South-east Asia.
-----------------“The Black Dutchmen: A Preliminary Study of the Colonial Roots of South Moluccan Terrorism”. Conference on the Rural Community and Political Change in Asia and Africa, SUNY Buffalo, Nov. 18-19, 1977 (unpublished).
-------------------, “Alliances Without Marriage: Exogamy, Economic Exchange, and Symbolic Unity Among Ambonese Christian and Moslems”. Anthropology, III (1-2) 1980. Paper was originally presented at the 76th Annual Meeting of the American Anthropological Association (AAA), November 29-December 4, 1977
----------------------,“ Politicians and Magicians: Power, Adaptive Strategies an Syncretism in the Central Moluccas. In: What is Modern Indonesian Culture?. Gloria Davis, ed., Athens: Ohio University Center for International Studies.p. 282-299, 1979
----------------------, “From Black Dutchmen to White Moluccans: Ethnic Metamorphosis of an East-Indonesian Minority in the Netherlands”. First Conference on Maluku Research. University of Hawaii at Manoa. Center for Southeast Asian Studies. Honolulu. 1990, March, 16 -18.
-----------------------, “The Evolution of God in Space Islands: The Converging and Diverging, of Phrotestant Christianity and Islam in the Colonial and Postcolonial Periods”. Symposium “Christianity in Indonesia” at the Frobenius Institute of the Johann Wolfgang Gorhte University at Frankfurt/ Main on Desember 14, 2003.
----------------------, “On Brutes and Brides: Displaying a Distinct Ethnic Identity in a Colonial Context”, Presented to the 16th Biennial Conference of the Asian Studies Association of Australia in Wollongong, 2006.
Beng Huat, Chua. Life is Not Complete Without Shopping. Consumption Culture in Singapore. 41-55:2003. Singapore University Press.
Chauvel, Richard.H. Nationalists, Soldiers and Separatists: The Ambonese Islands from Colonialism to Revolt, 1880–1950. Verhandelingen van het Koninklijk Instituut voor Taal-, Land- en Volkenkunde; 143. Leiden: KITLV Press, 1990.
Ewen Stuart, Images …Without Bottom. …“ (1988) dalam The Consumer Society Reader. Juliet B Schor (ed). The New Press, New York, 2000.
Fauzi, M. ““Lain Kota, Lain di Front“: Jagoan dan Bajingan di Jakarta tahun 1950-an“. Internasional Urban Conference, Department of History Faculty of Letters, Airlangga University – Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie (NIOD). Surabaya, 20 Agustus 2004.
Hulsbosch, Marianne. Pointy shoes and pith helmets: dress and identity construction in Ambon from 1850 to 1942. University of Wollongong, 2004.
Knaap, Gerit J. “A City of Migran: Kota Ambon at the End of Seventeeth Century”. Www. cornel edu.com, 1991.
Ryter, Loren. “Pemuda Pancasila: The Loyalist Free Men of Suharto’s Order”. Indonesia, Cornell Southeast Asian Program, 66 (October), 1998.
Siegel, James T. Solo in the New Order. Language, and Hierarchy in an Indonesian City. Princeton University Press, 1986.
Shiraishi, Saya. Young Heroes. The Indonesian Family in Politics. Southeast Asia Program. Cornell University, 1997.
Timmer, Jaap. “Conflict and Anthropology: Some Notes on Doing Consultacy work in Maluku Battleground (Eastern Indonesia”. Fifth European Society for Oceanist in Viena, 4-6, june 2002.
Tumenggung, Adeline A dan Nugroho, Yanuar. “Marooned in the Junction, Indonesian Youth Participation in Politics”. Go! Young Progressive in Southeast Asia. Tanpa tahun terbit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar